SUKHOI
Diposting oleh
Imron Tohari
on Senin, 28 Mei 2012
Label:
Puisi kontempelatif
/
Comments: (1)
SUKHOI
Maka, seperti jamur tumbuh di musim hujan
Kecelakaan itu menjadikan gunung salak layaknya artis
Dirias bak selebritis
Dibedaki pakai pupur mistis
Dilipstik dengan bumbu politis
Disemprot parfum silang sengkarut, opini
Dipercantik dengan baju-baju opera, media
Halnya rakyat; aku juga
Duka sebatas duka
Lupa doa
Korban shukoi itu kita
Pasti pulang juga, walau
Melalui jalan yang berbeda
(Lifespirit, 15 Mei 2012)
KENDALI MASA LALU
Diposting oleh
Imron Tohari
on Minggu, 01 April 2012
Label:
kontemplatif,
puisi kontemplatif,
puisi kontemplatip kehidupan
/
Comments: (0)
Foto buah karya sahabatku HERMAN MORISON
KENDALI MASA LALU
Hari-hari kapal kosong
Di langit camar kesepian
Ribuan mil gelombang menyanyi panjang
Malam, menatap harapan terbang dibawa peri bulan
Oh, betapa dalam, memang menyakitkan
Berlabuh perahu, angin tidak berhenti
Berlayar lebih, dan lebih jauh lagi, rindu rumah menyengat
Di kering yang parah,melihat ke belakang, mencari putih buih
Bulan purnama penuh tetap mengundang haus
Agar tak tertelan gelombang, maka tenangkan pikiran
Hadapi samar dan nyata, kemudian pisahkan
(Imron Tohari, lifespirit 1 April 2012)
SEBELUM ENGKAU MEMAHAMI
Diposting oleh
Imron Tohari
on Sabtu, 31 Maret 2012
Label:
puisi cinta
/
Comments: (0)
Foto karya Herman Morison
SEBELUM ENGKAU MEMAHAMI
sebelum engkau memahami
tentang keterlibatan yang dikenal sebagai kekasih
aku ingin membawamu ke akhir baris
memastikan pertautan yang baik
adalah proses terakhir dari benang-benang kerinduan
menjadi tenun kain
aku mencintaimu, sungguh
o, betapa bahagia
jika aku menjadikanmu paham
(lifespirit,30 March 2012)
BAIT-BAIT MATAHARI
Diposting oleh
Imron Tohari
on Kamis, 15 Maret 2012
Label:
puisi cinta,
Puisi kontempelatif
/
Comments: (1)
Foto buah karya sahabatku Surya Almada Syahlani
BAIT-BAIT MATAHARI
Sebelum cinta mendapati suatu ujian
tidak akan pernah beranjak dari pikiran,tentang
memahami kesetiaan cinta
bukan semata adalah keberadaan fisik yang senantiasa mengada
Duhai wahai kekasih
adalah kesetiaan cintaku, aku biarkan lepas tapi menyemesta
lalu menelusup di kedalaman rasa walau hanya dalam rupa isyarat
seperti halnya saat kesedihanmu merupa hujan menderas
ialah matahari yang melukis bianglala itu, kesetiaanku
Dan adalah perihal tidak mudah memahami kesetiaan, pertarungan batiniah
perasaan dan pikiran yang saling meneggelamkan ke dalam diri sendiri
yang berseakan menanggung kutukan mahadaya cinta
Duhai wahai kekasih, jikalau murungmu itu rupa dari malam
bulan sabit yang engkau lihat adalah kesedihan, matahari
dalam ketidaksempurnaan pantulkan cahaya pada bulan
adalah luka, menjadi isyarat suara-suara tangis
dalam debar tak bersuara, kesetiaan cinta
adanya ketidak setiaan keadaan
O,kekasihku , manakala engkau berfikir
kesetiaan cinta adalah penantian dari kerinduan hati
pada gejolak asmara adakalanya aku merasa
malam membaca bait-bait matahari
di cahaya purnama
(Imron Tohari, lifespirit 15 March 2012)
MENJAGA ADIK
Diposting oleh
Imron Tohari
on Senin, 12 Maret 2012
Label:
puisi potret,
puisi sosial humanis
/
Comments: (0)
Foto berjudul "Menjaga Adik" karya Adhi Prayoga
MENJAGA ADIK
Dari sekian orang di luar garis kesejahteraan
Menatapmu, oh adikku, hatiku teriris
Ingat biaya-biaya akan naik
Bahan bakar
Listrik
Pendidikkan
Bahkan bahan-bahan pokok di pasar keluar taring
Dan engkau adikku, tetap tak mengerti apa-apa
Adikku, jangan tatap aku seperti itu
Apalagi merengek mencari bapak dan emak
Jika airmata ini cukup untuk menjagamu
Oh adikku, akan aku luahkan tangis
Membasuh luka yang mengancam cerlang matamu
(Imron Tohari, lifespirit 2012 )
DI EMPER TOKO
Diposting oleh
Imron Tohari
Label:
puisi sosial humanis puisi potret,
puisi tanah air
/
Comments: (0)
FOTO KARYA ADHI PRAYOGA
DI EMPER TOKO
Bersandar mak tua, tak peduli lalu lalang di jalan
Apalagi ngomongi Malinda Dee yang di ganjar delapan tahun
Mungkin ianya juga lebih tak peduli
Jikalau pak Sby bilang, Indonesia bebas korupsi
“Mak, lima belas ribu kita dapat hari ini, tapi
BBM dan tarif listrik katanya akan naik, pasti
sembako tentunya naik juga, mak ” suara anak kecil di sebelahnya
---Sudahlah nak gak usah didenger, toh percuma saja
”Terus yang mesti kita denger apa,mak ?”
---Ya suara perut kita,nak
Jawab mak tua enteng
_____________________________________
@ lifespirit 2008,2010, rev Maret 2012
JIKA KITA SALING MENGUATKAN, ITULAH CINTA
Diposting oleh
Imron Tohari
Label:
puisi cinta
/
Comments: (0)
Gambar diunduh http://zine.rukukineruku.com/wp-content/uploads/2009/11
JIKA KITA SALING MENGUATKAN, ITULAH CINTA
Ketika aku merasa kian memahami tentang apa itu cinta
Pertanyaanmu padaku membuatku terkesiap
Iakah cinta itu diantara perasaan dan ruang sunyi?
Di pantai, aku tulis tebal huruf-huruf cinta
Angin menerbangkan pasir–pasir
Di ruang kamar kubuka lemari
Senyap. Pakaian juga perhiasan sebisunya batu
Kutatap jam di dinding kamar
Runcing jarum adalah kekosongan yang bunyi
Pikiran dan perasaan yang berjalan di lorong hening
Jika aku kini memilihmu, itu karena aku percaya perasaanku
Mencintaimu. Seperti lebah membuat sarang madu, dan
Tempat menetasnya anak-anak
(Imron Tohari, lifespirit 12 March 2012)
TELAGA RINDU*
Diposting oleh
Imron Tohari
on Minggu, 04 Maret 2012
Label:
puisi cinta,
puisi rindu
/
Comments: (0)
lukisan diunduh dari http://www.ecvv.com/product/720400.html
TELAGA RINDU*
Berperahu di tenang telaga, meniup suling dengan nada merdu
Langit biru yang indah, di pinggir telaga kebun buah-buahan subur
Adalah nyanyian kalbu diam-diam melukis wajah kekasih
Berbantal cincin hati kemala
Bekerja, terpisah jarak dengan keluarga
Di kota akhir-akhir ini pesona koin bak mandi madu kibasan bulu merak
Ketika sulit untuk menemukan bahwa masih ada segelas itikad baik.
Di matamu. Cahaya bintang kemerlab bersih
Duhai wahai yang menjadikan aku rindu, ketika kita kembali bersua nanti
Itulah saatnya hatiku berasa luahan kasih, dan ingin aku mengajakmu
Memetik ranum buah rindu, di kebun subur dekat tenang telaga
(Imron Tohari, lifespirit 4 Maret 2012)
Judul* : Erha Limanov
TENTANG KEDUKAAN
Diposting oleh
Imron Tohari
on Sabtu, 25 Februari 2012
Label:
kontemplatif,
puisi spiritual
/
Comments: (2)
TENTANG KEDUKAAN
beratus tanya lelah kudengar, di pikiran
himpitan hidup demikian mudah mengubur suka
petang pun berjalan tergesa-gesa ke pagi
di celahnya, mimpi terjebak tak tahu mesti bagaimana
maka, di reranting kering, daun-daun melayuk
cuaca kian tak tentu, angin bergemuruh
lembar-lembar kalender mudah robek
sungguh, alam berseakan menjerit
perlihatkan jalan ke muara sepi, kita
sibuk berdagang nasib
tanpa ning
lupa Tuhan, untuk apa menjadikan insan hidup
(lifespirit,25 Feb 2012)
beratus tanya lelah kudengar, di pikiran
himpitan hidup demikian mudah mengubur suka
petang pun berjalan tergesa-gesa ke pagi
di celahnya, mimpi terjebak tak tahu mesti bagaimana
maka, di reranting kering, daun-daun melayuk
cuaca kian tak tentu, angin bergemuruh
lembar-lembar kalender mudah robek
sungguh, alam berseakan menjerit
perlihatkan jalan ke muara sepi, kita
sibuk berdagang nasib
tanpa ning
lupa Tuhan, untuk apa menjadikan insan hidup
(lifespirit,25 Feb 2012)
RISALAH HATI
Diposting oleh
Imron Tohari
on Senin, 16 Januari 2012
Label:
puisi spiritual,
puisi spiritual kontemplatif,
puisi sufistik
/
Comments: (0)
Ini risalah dari kalbu
Memuisikan Engkau
Rindu tak berkesudah
Ombak pasang gejolak asmaraku
Nyatanya tak cukup tinggi melebihi kasihMu
Tiap kali kuronce doa
Oh, air mata yang menetes
Hanya diam ke hening
Adalah ketakberdayaan
Ringan kapas dihembus angin
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un
(Imron Tohari , lifespirit 17 January 2012, pukul 2,14 Wita)
Memuisikan Engkau
Rindu tak berkesudah
Ombak pasang gejolak asmaraku
Nyatanya tak cukup tinggi melebihi kasihMu
Tiap kali kuronce doa
Oh, air mata yang menetes
Hanya diam ke hening
Adalah ketakberdayaan
Ringan kapas dihembus angin
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un
(Imron Tohari , lifespirit 17 January 2012, pukul 2,14 Wita)
Esai ringan tentang: Kegelisahan Buah Simalakama Dimas Arika Mihardja
Diposting oleh
Imron Tohari
on Minggu, 15 Januari 2012
Label:
Esai ringan tentang: Kegelisahan Buah Simalakama Dimas Arika Mihardja
/
Comments: (0)
BUAH SIMALAKAMA ITU ...
: bagi penyair generasi kini
buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal
buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?
buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!
(Dimas Arika Mihardja, bpsm, 11/1/2012)
“Saya tidak tahu bagaimana nasib Anda kelak, tetapi ada satu hal yang saya ketahui: Mereka yang benar-benar berbahagia hanyalah mereka yang mencari dan menemukan cara membaktikan diri” (Albert Schweitzer – hal.149 Chicken Soup for the Soul at Work)
Perkataan Albert Schweitzer tersebut kalau kita tarik benang merahnya dengan kinerja cipta karya puisi, terkait maraknya dunia tulis menulis puisi lima tahun terakhir ,khususnya di dunia virtual (kita kerucutkan di jejaring social semacam face book), tak pelak memunculkan berbagai pendapat positip pun negatip; pro maupun kontra akan kualitas karya yang bertebaran laksana jamur di musim hujan. Di mana pada karya-karya yang tumbuh bak jamur di musim hujan tersebut, notabene banyak dari mereka yang tadinya tidak suka puisi, karena mudahnya berinteraksi dengan karya pencipta pendahulunya yang juga banyak diupload di dunia cyber, menjadikan suatu dorongan bahwa mereka juga bisa membuat puisi seperti yang telah ada, sehingga bergegas mereka (baca: baru tarap awal jatuh cinta dengan puisi) beramai-ramai membuat dan langsung publis, yang saya yakin 90% dari karya yang dipublish ini tidak melalui proses pengendapan untuk mendapatkan nilai estetis secara maksimal yang sesuai dengan kaidah-kaidah sastra, dalam pengertian, instan ini terjadi tersebab mereka lebih mengacu pada pemikiran sebatas meluahkan perasaan yang terpendam dalam magma pergolakan jiwa pengkarya cipta. Sedangkan mengenai estestis karya, biasanya mereka lebih banyak mengikuti pola penyair-penyair yang sudah mapan di ranah sastra ( dengan abai akan pengaruh baik buruk atas tekhnik saji bahasa poetika para penyair yang di anutnya tersebut). Hal inilah selanjutnya yang memicu banyaknya karya puisi yang berseakan tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh penulis karya sebelumnya ( kalau tidak boleh dikata sebagai pengekor kelas akut).
Sebagian pelaku sastra menyambut fenomena menarik ini sabagai sesuatu yang positip bagi tumbuh kembangnya sastra puisi di kemudian hari, serta merupakan suatu momentum yang baik untuk kembali menggerakkan roda-roda sastra khususnya puisi yang setelelah sekian lama tak ada derit suara dari perputaran roda sastra termaksud. Dan sebagian pelaku sastra lainnya mengangap fenomena ini justru akan kian menenggelamkan kualitas dari sastra puisi itu sendiri, tersebab tidak adanya filter dan atau saringan kuat atas karya yang dipublis. ( adanya dua pendapat inilah yang memicu adanya perang argument yang tak berkesudah antara peran sastra puisi Koran vs sastra puisi cyber, beserta pengaruhnya terhadap wibawa sastra puisi dalam kedudukannya di masyarakat yang berbudaya adi luhung).
Tidak ada yang salah dan benar atas pro kontra yang terjadi dengan fenomena semaraknya sastra cyber. Sastra cyber lebih geliat dibanding sastra Koran tersebab para pencipta butuh ruang yang lebih bersahabat untuk mendapat apresiasi dari pembacanya yang bisa secara interaktip langsung ( terlepas apa karya itu berkualitas atau tidak ), sedangkan sastra Koran lebih mengedepankan nilai kualitas karya sebagai produk budaya sastra ( terlepas dengan merebaknya wacana kepentingan ekonomis dewasa ini di ranah sastra Koran), namun jika dua alasan tadi kita letakkan dalam lapak yang besar, maka kemenonjolan dua pendapat tadi tentang “kegelisahan” akan tampak jelas di sana sebagai wujud peduli pada tubuh kembangnya sastra tanah air secara baik, yang diharapkan akan bisa mengembalikan kewibawaan sasra tanah air di ranah sastra dunia.
Berangkat dari kegelisahan tadi, Dimas Arika Mihardja menetaskan gejolak jiwa dan opininya terhadap fenomena di atas, lewat hantaran puisinya yang bertajuk “BUAH SIMALAKAMA ITU ...”, Dimas Arika Mihardja ( untuk selanjutnya saya singkat “DAM” ) tidak sembarang memberi judul, karena pada puisi ini, saya menangkap suatu insyarat, kalau judul itu seperti halnya bahasa poetika yang ada di dalam sebuah rumah puisi secara utuh, maka judul “BUAH SIMALAKAMA ITU ...”, saya ibaratkan sebuah lampu di halaman rumah, sebagai penerang yang menunjukkan tetamu untuk melihat sebuah pintu masuk menuju ke rumah puisi, Begitu kira-kira yang saya tangkap dari pemilihan judul oleh DAM tersebut, yang di akhir judul, seakan kunci masuknya diberikan pada penghayat itu sendiri dalam bentuk simbolik tanda baca ellipsis (…). Dan kalau ellipsis tadi saya parafrasakan untuk memudahkan saya membuka pintu-pintu yang pastinya tidak hanya satu pintu yang ada di dalam rumah puisi, maka saya akan menulisnya secara utuh seperti ini : “BUAH SIMALAKAMA ITU (hendaknya bijak disikapi) : disikapi oleh siapa? orang lampaukah? atau orang kinikah? penyair legenda hidupkah? atau penyair masa kinikah? blablablaaaaa yang pasti berseakan saya menangkap judulnya berteriak : ayo luruskan luruskan ini engkau yang legenda hidup, dan ayo saring dengan saringan jernih engkau yang di kini sebelum minum nikmatnya perasan buah anggur jiwa, biar tak mabuk dan tak sadarkan diri terlalu lama.
Pemakaian simbolik bahasa ellipsis pada judul ini merupakan sebuah keputusan tepat yang diambil oleh DAM, mengingat dibawah judul puisi ini ada sebaris kalimat yang merujuk pada titik focus pesan untuk penyair masa kini ( baca tanpa tending aling aling ya : penyair yang baru awal menapak jejak ) : “: bagi penyair generasi kini”, sementara di sisi lain teks puisi ini, ada bahasan yang tak kalah penting yang ingin disampaikan Dam pada rumah puisi melalui pintu-pintu simbolik bahasanya secara utuh untuk penyair-penyair mapan dan atau pelaku sastra dalam menyikapi fenomena sastra masa kini yang tengah terjadi ( kalau tidak boleh saya katakan semacam auto kritik terhadap pertanggung jawaban moril selaku penggiat,pencipta dan atau pencinta sastra). Dan kegelisahan penyair,esais DAM itu semakin kentara jika kita mau sedikit berpayah-payah menelusuri setiap pintu simbolik bahasa poetika di bait pertama, yang saya kutipkan di bawah ini :
“buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”
Menangkap simbol-simbol bahasa pada bait pertama puisi DAM di atas, , aku lirik berupaya membebaskan kegelisahaannya dengan memilih “cintaku” sebagai kata kunci untuk merekatkan barisan kata sebelum dan sesudahnya. Dan saya rasa pilihan kata kunci “cintaku” ini sudah tepat, cinta yang memiliki makna yang begitu dalam serta tak berbatas prespektipnya, senantiasa menawarkan suatu pergolakan batin suka dan dukanya (baca: risau,gelisah berdasarkan KBBI), dan dengan kata “cintaku” ini juga diharapkan bisa memberi daya dorong yang kuat pada imaji penikmat baca/penghayat atas kode-kode dan atau simbol-simbol poetika yang lainnya, yang secara tekstual bahasa pada puisi karya DAM “BUAH SIMALAKAMA ITU ...” , beberapa baris kalimat pada bait pertama (dan juga pada beberapa baris lainnya pada bait selanjutnya) berseakan baris-baris tadi hanya memberi makna secara yang tersirat teks saja, padahal kalau kita mau sedikit saja berpayah-payah melebur pada kalimat-kalimat tadi, ianya akan menghisap imaji rasa dan piker kita masuk ke pusaran simbolik bahasa termaksud, kita akan mendapatkan makna yang membawa prespektip besar berkaitan dengan segala amuk atas fenomena kekinian di ranah sastra : “//mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara/keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio/o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal//”
Hal yang bagaimana sebenarnya yang tengah digelisahkan DAM dalam larikan-larikannya tersebut?
Untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang tak hanya dari satu sisi, kita terlebih dulu harus menarik benang merah dengan baris kalimat sebelumnya, serta tak meninggalkan judul yang seperti saya kata sebelumnya ibarat lampu penerang untuk melihat letak pintu-pintu yang ada didalam rumah puisi. Jika kita menariknya terlebih dulu ke atas, :
“BUAH SIMALAKAMA ITU ...
: bagi penyair generasi kini
buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”
Nah di sini adanya ellipsis (…) yang ditaut benturkan dengan “: bagi penyair generasi kini” akan menjadikan pesan aku lirik focus pada makna dan atau pesan yang ingin dia letupkan pada dua baris pembuka di bait pertama, di mana aku lirik mewanti-wanti pada penyair generasi kini untuk menyikapi dengan bijak akan segala hal terkait banyaknya wacana cipta karya puisi “buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan”, dalam pengertian, apa buah simalakama itu? Ya buah simalakama itu tidak lain dan bukan segala bentuk dan atau wujud puisi, baik yang kita anut dari penyair pendahulu atau bentuk dari karya puisi sendiri, dan seberapa jauh puisi-puisi pendahulu tadi yang banyak tersaji baik yang tersebar di sastra cyber maupun di sastra Koran mempengaruhi dalam penciptaan karya sendiri. Dan ada apa dengan “cintaku”, bisa jadi ini simbolik yang mewakili kegelisahan dari aku lirik, dan bisa juga ini merupakan semacam code bahasa untuk penyair kini agar tabah dalam menggeluti dunia sastra puisi walau dalam pencarian jati diri tidaklah semudah membalik telapak tangan “apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”
Pesan yang sarat wanti-wanti dari sosok penyair DAM untuk penyair kini, kian jernih saat kita membuka pintu-pintu simbolik poetika pada tiga baris terakhir pada bait pertama :
“mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”
Pada larikan di atas, DAM tidak serta merta hanya sekedar memilih dan atau menautkan sembarang nama penyair, namun dia saya rasa cukup jeli, karena kebanyakan karya-karya merekalah yang banyak menjadi anutan para penyair kini, khususnya pemula. Siapa pecinta sastra puisi yang tidak mengenal karya Sapardi Djoko Damono yang fonumenal “ Aku Ingin”, dan betapa kekuatan estetika bahasa poetikanya begitu memukau para penyair penerusnya, yang sayangnya justru para pengikutnya ini terjebak dalam sebatas keindahan bahasanya sahaja tanpa memperdulikan estetika makna, seperti karya-karya Sapardi Djoko Damono itu. Dan hal inilah yang menjadikan duka abadi bagi kembang tumbuh karya sastra puisi ““mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara“ , benar-benar seperti mata pisau yang tajam dan bisa melukai diri sendiri bila kita tidak hati-hati serta bijak mencernanya.
Hanya saja saya kesulitan untuk merujuk pesan apa yang ingin diletupkan DAM pada baris ke empat bait pertama “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, dibaris kalimat ini saya rasa DAM gagal menjadi guide bagi penikmat baca/penghayat, karena tidak seperti pada baris-bari sebelumnya dan sesudahnya pada bait yang sama, yang begitu indah membantu penghayat untuk menangkap pesan-pesan yang ingin diletupkan dengan melekat sertakan penanda seperti “dukamu abadi” yang dibenturkan dengan “mata pisau telah diasah sapadi” serta “o amuk kapak sutardji” yang dibentur tautkan dengan “lepas dari tradisi bersama afrizal” yang saya tangkap dari larikan ini tentang pemujaan terhadan kebebasan bahasa dan atau lebih mengedepankan keunikan bahasa tuang karya dari pada makna karya itu sendiri. Sedangkan pada baris keempat ini saya serasa dibenturkan pada sebuah pintu yang banyak kuncinya, dan saya bingun kunci yang mana yang mesti bisa saya pakai untuk membuka baris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, apakah baris ini oleh DAM dimunculkan hanya sebagai baris pelengkap saja? Saya rasa untuk penyair sekelas DAM yang telah lama malang melintang di ranah sastra tanah air secara ntata, tidaklah begitu, pastinya ada pesan terkandung di dalamnya yang ingin diletupkan ke permukaan.
Tapi apa? Entahlah, karena saya di baris ini hanya dihadapkan dengan kalimat “ keraguan goenawan”, keraguan yang bagaimana? Keraguan dalam konteks apa?, dan juga pada kalimat selanjutnya “dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, kematian yang bagaimana yang dimaksud? Kematian sastrakah? Atau merujuk pada statemen dari sosok penyair Subagio dalam suatu tesisnya dan atau pengalaman pribadi DAM sewaktu mengobrol dengan subagi tentang sesuatu perihal yang ada kaitannya dengan tema yang diangkat dalam puisi ini? Semua terasa samar tanpa adanya penanda yang jelas seperti pada sosok damono dengan duka abadinya serta sutardji dengan o amuk kapaknya yang ditaut benturkan dengan afrizal yang juga menganut kebebasan dalam menuliskan bahasa karya (baca: semacam pembrontakan bahasa). Dibaris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio” ini saja saya berpendapat DAM membuat saya seakan terantuk pintu dan jatuh sesaat karena kepala pusing. Hehe. Tapi di baris selanjutnya “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”, kematangan kepenyairan DAM seakan menolong saya untuk kembali bangun serta menlanjutkan perjalanan untuk masuk pintu-pintu ruang kontemplatip yang ada di rumah puisinya. Dan di baris pamungkas bait pertama ini saya mendapati suatu pesan wanti-wanti yang teramat sangat pada penyair masa kini, untuk tidak sekedar meniru tanpa menelaah secara bicak dan tidak dimodali dengan pengetahuan yang baik seluk meluk komponen-komponen sastra puisi secara utuh, yang didalamnya estetika bahasa dan estetika makna harus berbanding sama. Wanti-wanti ini terkait dengan salah kaprahnya para pengikut SCB dan Afrizal Malna yang akhirnya tumbuh membiak pemikiran bahwa setelah karya di publis, maka matilah penyairnya. Yang fatalnya lagi, paham ini dipertegas dengan statemen SCB “ bahwa penyair tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya,” yang justru hal ini tanpa dipikirkan secara bijak diamini oleh pengikutnya, yang pada kenyataannya justru dijadikan sebagai senjata pamungkas aspek pembenar. Di sinilah sikap wanti-wanti pada penyair masa kini ini begitu ditekankan oleh DAM. Dan menurut saya baris penutup ini bait yang paling kuat di antara baris lainnya dibait pertama, walau senyatanya kita tidak bisa memenggal baris tadi secara pisah, sebab dalam puisi, baris merupakan satu kesatuan terowongan penyampai imaji, baik imaji pengkarya cipta maupun imaji penikmat baca. Baris “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal” ini saya katakana kuat, karena berhasil memandu saya untuk mendekati pesan yang ada seperti apa yang dikatakan Nurel Javissyargi tentang pola pemikiran SCB pada bukunya menggugat tanggung jawab kepenyairan Sutardji Calzom Bachri : “Mengamati pola Tardji yang “secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”, ia tampak sebagai dukun tidak bertanggung jawab, berusaha mengaburkan daya tirakat, melalui mantra penutup yang menghilangkan jejak tapak halusnya. Demikian dikatagorikan lempar batu sembunyi tangan.”
Dan saat saya melongok catatan DAM untuk mencari tahu adakah hal yang terkait dengan baris penutup bait pertama tadi, dan saya semakin yakin pesan yang saya tangkap tadi, setelah saya membaca salah satu catatan DAM di note Facee Booknya 12 Mei 2011 tentang INKONSISTENSI SUTARDJI CALZOUM BACHRI, Sebagai tanggapan atas esai Nurel Javisraqi, menuliskan :
“SCB, menurut kredo puisinya, yang mengantar buku kumpulan puisinya O AMUK KAPAK (pernah diterbitkan oleh Sinar Harapan, 1981, dan Depdiknas, 2003) ingin membebaskan kata dari penjajahan makna, ingin mengembalikan pada kata pertama, yakni mantra. Realitasnya, kesan saya sama dengan NJ bahwa dalam puisi-puisinya SCB sekadar menjungkirnalikkan kata semaunya. Lalu setelah banyak pembaca dan kritisi dinilai kurang cerdas menangkap sinyal-sinyal puisi SCB, SCB yang semula emoh bertanggung jawab, lalu menulis pengangantar khusus untuk menerangjelaskan karya-karyanya. Dalam konteks ini lalu terlihat inkonsistensi kepenyairan SCB (pada satu ketika menolak bertanggung jawab dan pada ketika lain justru menerangjelaskan karya-karyanya).”
Pada bait dua,yang merupakan penegas bait pertama. Dam dalam siratan pesannya ke penyair masa kini, masih tidak terlepas dengan simpul pembuka pada dua baris pertama bait pertama “//buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan/apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian//, hanya saja melalui repetisi “//buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang// ingin menegaskan, bahwa dalam perjalanan proses pematangan dan atau pencarian jati diri “tumbuh sepanjang tualang”, apakah sebagai penyair kita hanya berkutat dengan kekuatan makna saja, dan kembali kemainstrem karya-karya semacam angkatan pujangga lama dan pujangga baru sahaja, atau kita berani melepaskan panah kreasi yang melesat melebihi mereka? Atau memang penyair kekinian itu tidak bisa lepas dari baying-bayang pedahulunya semacam apa yang disyiratkan dam dama baris “mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros”.
APAKAH sastra Indonesia sedang sakit, sekarat, atau kritis sehingga perlu diselamatkan?(dikutip dari Catatan: Dimas Arika Mihardja: “PENYELAMATAN SASTRA INDONESIA”).
Entahlah, yang pasti dengan larikan teduhnya, sesuai dengan motonya di BPS, suatu wadah pembinaan para pencinta karya sastra, “asah, asih, asuh”, Dam menutup puisi indah sarat kebaharuan piker dengan 3 baris yang secara terang bisa kita cecap pesan dan atau makna yang tersirat pun terusrat di dalamnya :
“buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!”
Salam lifespirit!
(Imron Tohari – lifespirit, 15 January 2012)
: bagi penyair generasi kini
buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal
buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?
buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!
(Dimas Arika Mihardja, bpsm, 11/1/2012)
“Saya tidak tahu bagaimana nasib Anda kelak, tetapi ada satu hal yang saya ketahui: Mereka yang benar-benar berbahagia hanyalah mereka yang mencari dan menemukan cara membaktikan diri” (Albert Schweitzer – hal.149 Chicken Soup for the Soul at Work)
Perkataan Albert Schweitzer tersebut kalau kita tarik benang merahnya dengan kinerja cipta karya puisi, terkait maraknya dunia tulis menulis puisi lima tahun terakhir ,khususnya di dunia virtual (kita kerucutkan di jejaring social semacam face book), tak pelak memunculkan berbagai pendapat positip pun negatip; pro maupun kontra akan kualitas karya yang bertebaran laksana jamur di musim hujan. Di mana pada karya-karya yang tumbuh bak jamur di musim hujan tersebut, notabene banyak dari mereka yang tadinya tidak suka puisi, karena mudahnya berinteraksi dengan karya pencipta pendahulunya yang juga banyak diupload di dunia cyber, menjadikan suatu dorongan bahwa mereka juga bisa membuat puisi seperti yang telah ada, sehingga bergegas mereka (baca: baru tarap awal jatuh cinta dengan puisi) beramai-ramai membuat dan langsung publis, yang saya yakin 90% dari karya yang dipublish ini tidak melalui proses pengendapan untuk mendapatkan nilai estetis secara maksimal yang sesuai dengan kaidah-kaidah sastra, dalam pengertian, instan ini terjadi tersebab mereka lebih mengacu pada pemikiran sebatas meluahkan perasaan yang terpendam dalam magma pergolakan jiwa pengkarya cipta. Sedangkan mengenai estestis karya, biasanya mereka lebih banyak mengikuti pola penyair-penyair yang sudah mapan di ranah sastra ( dengan abai akan pengaruh baik buruk atas tekhnik saji bahasa poetika para penyair yang di anutnya tersebut). Hal inilah selanjutnya yang memicu banyaknya karya puisi yang berseakan tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh penulis karya sebelumnya ( kalau tidak boleh dikata sebagai pengekor kelas akut).
Sebagian pelaku sastra menyambut fenomena menarik ini sabagai sesuatu yang positip bagi tumbuh kembangnya sastra puisi di kemudian hari, serta merupakan suatu momentum yang baik untuk kembali menggerakkan roda-roda sastra khususnya puisi yang setelelah sekian lama tak ada derit suara dari perputaran roda sastra termaksud. Dan sebagian pelaku sastra lainnya mengangap fenomena ini justru akan kian menenggelamkan kualitas dari sastra puisi itu sendiri, tersebab tidak adanya filter dan atau saringan kuat atas karya yang dipublis. ( adanya dua pendapat inilah yang memicu adanya perang argument yang tak berkesudah antara peran sastra puisi Koran vs sastra puisi cyber, beserta pengaruhnya terhadap wibawa sastra puisi dalam kedudukannya di masyarakat yang berbudaya adi luhung).
Tidak ada yang salah dan benar atas pro kontra yang terjadi dengan fenomena semaraknya sastra cyber. Sastra cyber lebih geliat dibanding sastra Koran tersebab para pencipta butuh ruang yang lebih bersahabat untuk mendapat apresiasi dari pembacanya yang bisa secara interaktip langsung ( terlepas apa karya itu berkualitas atau tidak ), sedangkan sastra Koran lebih mengedepankan nilai kualitas karya sebagai produk budaya sastra ( terlepas dengan merebaknya wacana kepentingan ekonomis dewasa ini di ranah sastra Koran), namun jika dua alasan tadi kita letakkan dalam lapak yang besar, maka kemenonjolan dua pendapat tadi tentang “kegelisahan” akan tampak jelas di sana sebagai wujud peduli pada tubuh kembangnya sastra tanah air secara baik, yang diharapkan akan bisa mengembalikan kewibawaan sasra tanah air di ranah sastra dunia.
Berangkat dari kegelisahan tadi, Dimas Arika Mihardja menetaskan gejolak jiwa dan opininya terhadap fenomena di atas, lewat hantaran puisinya yang bertajuk “BUAH SIMALAKAMA ITU ...”, Dimas Arika Mihardja ( untuk selanjutnya saya singkat “DAM” ) tidak sembarang memberi judul, karena pada puisi ini, saya menangkap suatu insyarat, kalau judul itu seperti halnya bahasa poetika yang ada di dalam sebuah rumah puisi secara utuh, maka judul “BUAH SIMALAKAMA ITU ...”, saya ibaratkan sebuah lampu di halaman rumah, sebagai penerang yang menunjukkan tetamu untuk melihat sebuah pintu masuk menuju ke rumah puisi, Begitu kira-kira yang saya tangkap dari pemilihan judul oleh DAM tersebut, yang di akhir judul, seakan kunci masuknya diberikan pada penghayat itu sendiri dalam bentuk simbolik tanda baca ellipsis (…). Dan kalau ellipsis tadi saya parafrasakan untuk memudahkan saya membuka pintu-pintu yang pastinya tidak hanya satu pintu yang ada di dalam rumah puisi, maka saya akan menulisnya secara utuh seperti ini : “BUAH SIMALAKAMA ITU (hendaknya bijak disikapi) : disikapi oleh siapa? orang lampaukah? atau orang kinikah? penyair legenda hidupkah? atau penyair masa kinikah? blablablaaaaa yang pasti berseakan saya menangkap judulnya berteriak : ayo luruskan luruskan ini engkau yang legenda hidup, dan ayo saring dengan saringan jernih engkau yang di kini sebelum minum nikmatnya perasan buah anggur jiwa, biar tak mabuk dan tak sadarkan diri terlalu lama.
Pemakaian simbolik bahasa ellipsis pada judul ini merupakan sebuah keputusan tepat yang diambil oleh DAM, mengingat dibawah judul puisi ini ada sebaris kalimat yang merujuk pada titik focus pesan untuk penyair masa kini ( baca tanpa tending aling aling ya : penyair yang baru awal menapak jejak ) : “: bagi penyair generasi kini”, sementara di sisi lain teks puisi ini, ada bahasan yang tak kalah penting yang ingin disampaikan Dam pada rumah puisi melalui pintu-pintu simbolik bahasanya secara utuh untuk penyair-penyair mapan dan atau pelaku sastra dalam menyikapi fenomena sastra masa kini yang tengah terjadi ( kalau tidak boleh saya katakan semacam auto kritik terhadap pertanggung jawaban moril selaku penggiat,pencipta dan atau pencinta sastra). Dan kegelisahan penyair,esais DAM itu semakin kentara jika kita mau sedikit berpayah-payah menelusuri setiap pintu simbolik bahasa poetika di bait pertama, yang saya kutipkan di bawah ini :
“buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”
Menangkap simbol-simbol bahasa pada bait pertama puisi DAM di atas, , aku lirik berupaya membebaskan kegelisahaannya dengan memilih “cintaku” sebagai kata kunci untuk merekatkan barisan kata sebelum dan sesudahnya. Dan saya rasa pilihan kata kunci “cintaku” ini sudah tepat, cinta yang memiliki makna yang begitu dalam serta tak berbatas prespektipnya, senantiasa menawarkan suatu pergolakan batin suka dan dukanya (baca: risau,gelisah berdasarkan KBBI), dan dengan kata “cintaku” ini juga diharapkan bisa memberi daya dorong yang kuat pada imaji penikmat baca/penghayat atas kode-kode dan atau simbol-simbol poetika yang lainnya, yang secara tekstual bahasa pada puisi karya DAM “BUAH SIMALAKAMA ITU ...” , beberapa baris kalimat pada bait pertama (dan juga pada beberapa baris lainnya pada bait selanjutnya) berseakan baris-baris tadi hanya memberi makna secara yang tersirat teks saja, padahal kalau kita mau sedikit saja berpayah-payah melebur pada kalimat-kalimat tadi, ianya akan menghisap imaji rasa dan piker kita masuk ke pusaran simbolik bahasa termaksud, kita akan mendapatkan makna yang membawa prespektip besar berkaitan dengan segala amuk atas fenomena kekinian di ranah sastra : “//mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara/keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio/o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal//”
Hal yang bagaimana sebenarnya yang tengah digelisahkan DAM dalam larikan-larikannya tersebut?
Untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang tak hanya dari satu sisi, kita terlebih dulu harus menarik benang merah dengan baris kalimat sebelumnya, serta tak meninggalkan judul yang seperti saya kata sebelumnya ibarat lampu penerang untuk melihat letak pintu-pintu yang ada didalam rumah puisi. Jika kita menariknya terlebih dulu ke atas, :
“BUAH SIMALAKAMA ITU ...
: bagi penyair generasi kini
buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”
Nah di sini adanya ellipsis (…) yang ditaut benturkan dengan “: bagi penyair generasi kini” akan menjadikan pesan aku lirik focus pada makna dan atau pesan yang ingin dia letupkan pada dua baris pembuka di bait pertama, di mana aku lirik mewanti-wanti pada penyair generasi kini untuk menyikapi dengan bijak akan segala hal terkait banyaknya wacana cipta karya puisi “buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan”, dalam pengertian, apa buah simalakama itu? Ya buah simalakama itu tidak lain dan bukan segala bentuk dan atau wujud puisi, baik yang kita anut dari penyair pendahulu atau bentuk dari karya puisi sendiri, dan seberapa jauh puisi-puisi pendahulu tadi yang banyak tersaji baik yang tersebar di sastra cyber maupun di sastra Koran mempengaruhi dalam penciptaan karya sendiri. Dan ada apa dengan “cintaku”, bisa jadi ini simbolik yang mewakili kegelisahan dari aku lirik, dan bisa juga ini merupakan semacam code bahasa untuk penyair kini agar tabah dalam menggeluti dunia sastra puisi walau dalam pencarian jati diri tidaklah semudah membalik telapak tangan “apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”
Pesan yang sarat wanti-wanti dari sosok penyair DAM untuk penyair kini, kian jernih saat kita membuka pintu-pintu simbolik poetika pada tiga baris terakhir pada bait pertama :
“mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”
Pada larikan di atas, DAM tidak serta merta hanya sekedar memilih dan atau menautkan sembarang nama penyair, namun dia saya rasa cukup jeli, karena kebanyakan karya-karya merekalah yang banyak menjadi anutan para penyair kini, khususnya pemula. Siapa pecinta sastra puisi yang tidak mengenal karya Sapardi Djoko Damono yang fonumenal “ Aku Ingin”, dan betapa kekuatan estetika bahasa poetikanya begitu memukau para penyair penerusnya, yang sayangnya justru para pengikutnya ini terjebak dalam sebatas keindahan bahasanya sahaja tanpa memperdulikan estetika makna, seperti karya-karya Sapardi Djoko Damono itu. Dan hal inilah yang menjadikan duka abadi bagi kembang tumbuh karya sastra puisi ““mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara“ , benar-benar seperti mata pisau yang tajam dan bisa melukai diri sendiri bila kita tidak hati-hati serta bijak mencernanya.
Hanya saja saya kesulitan untuk merujuk pesan apa yang ingin diletupkan DAM pada baris ke empat bait pertama “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, dibaris kalimat ini saya rasa DAM gagal menjadi guide bagi penikmat baca/penghayat, karena tidak seperti pada baris-bari sebelumnya dan sesudahnya pada bait yang sama, yang begitu indah membantu penghayat untuk menangkap pesan-pesan yang ingin diletupkan dengan melekat sertakan penanda seperti “dukamu abadi” yang dibenturkan dengan “mata pisau telah diasah sapadi” serta “o amuk kapak sutardji” yang dibentur tautkan dengan “lepas dari tradisi bersama afrizal” yang saya tangkap dari larikan ini tentang pemujaan terhadan kebebasan bahasa dan atau lebih mengedepankan keunikan bahasa tuang karya dari pada makna karya itu sendiri. Sedangkan pada baris keempat ini saya serasa dibenturkan pada sebuah pintu yang banyak kuncinya, dan saya bingun kunci yang mana yang mesti bisa saya pakai untuk membuka baris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, apakah baris ini oleh DAM dimunculkan hanya sebagai baris pelengkap saja? Saya rasa untuk penyair sekelas DAM yang telah lama malang melintang di ranah sastra tanah air secara ntata, tidaklah begitu, pastinya ada pesan terkandung di dalamnya yang ingin diletupkan ke permukaan.
Tapi apa? Entahlah, karena saya di baris ini hanya dihadapkan dengan kalimat “ keraguan goenawan”, keraguan yang bagaimana? Keraguan dalam konteks apa?, dan juga pada kalimat selanjutnya “dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, kematian yang bagaimana yang dimaksud? Kematian sastrakah? Atau merujuk pada statemen dari sosok penyair Subagio dalam suatu tesisnya dan atau pengalaman pribadi DAM sewaktu mengobrol dengan subagi tentang sesuatu perihal yang ada kaitannya dengan tema yang diangkat dalam puisi ini? Semua terasa samar tanpa adanya penanda yang jelas seperti pada sosok damono dengan duka abadinya serta sutardji dengan o amuk kapaknya yang ditaut benturkan dengan afrizal yang juga menganut kebebasan dalam menuliskan bahasa karya (baca: semacam pembrontakan bahasa). Dibaris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio” ini saja saya berpendapat DAM membuat saya seakan terantuk pintu dan jatuh sesaat karena kepala pusing. Hehe. Tapi di baris selanjutnya “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”, kematangan kepenyairan DAM seakan menolong saya untuk kembali bangun serta menlanjutkan perjalanan untuk masuk pintu-pintu ruang kontemplatip yang ada di rumah puisinya. Dan di baris pamungkas bait pertama ini saya mendapati suatu pesan wanti-wanti yang teramat sangat pada penyair masa kini, untuk tidak sekedar meniru tanpa menelaah secara bicak dan tidak dimodali dengan pengetahuan yang baik seluk meluk komponen-komponen sastra puisi secara utuh, yang didalamnya estetika bahasa dan estetika makna harus berbanding sama. Wanti-wanti ini terkait dengan salah kaprahnya para pengikut SCB dan Afrizal Malna yang akhirnya tumbuh membiak pemikiran bahwa setelah karya di publis, maka matilah penyairnya. Yang fatalnya lagi, paham ini dipertegas dengan statemen SCB “ bahwa penyair tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya,” yang justru hal ini tanpa dipikirkan secara bijak diamini oleh pengikutnya, yang pada kenyataannya justru dijadikan sebagai senjata pamungkas aspek pembenar. Di sinilah sikap wanti-wanti pada penyair masa kini ini begitu ditekankan oleh DAM. Dan menurut saya baris penutup ini bait yang paling kuat di antara baris lainnya dibait pertama, walau senyatanya kita tidak bisa memenggal baris tadi secara pisah, sebab dalam puisi, baris merupakan satu kesatuan terowongan penyampai imaji, baik imaji pengkarya cipta maupun imaji penikmat baca. Baris “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal” ini saya katakana kuat, karena berhasil memandu saya untuk mendekati pesan yang ada seperti apa yang dikatakan Nurel Javissyargi tentang pola pemikiran SCB pada bukunya menggugat tanggung jawab kepenyairan Sutardji Calzom Bachri : “Mengamati pola Tardji yang “secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”, ia tampak sebagai dukun tidak bertanggung jawab, berusaha mengaburkan daya tirakat, melalui mantra penutup yang menghilangkan jejak tapak halusnya. Demikian dikatagorikan lempar batu sembunyi tangan.”
Dan saat saya melongok catatan DAM untuk mencari tahu adakah hal yang terkait dengan baris penutup bait pertama tadi, dan saya semakin yakin pesan yang saya tangkap tadi, setelah saya membaca salah satu catatan DAM di note Facee Booknya 12 Mei 2011 tentang INKONSISTENSI SUTARDJI CALZOUM BACHRI, Sebagai tanggapan atas esai Nurel Javisraqi, menuliskan :
“SCB, menurut kredo puisinya, yang mengantar buku kumpulan puisinya O AMUK KAPAK (pernah diterbitkan oleh Sinar Harapan, 1981, dan Depdiknas, 2003) ingin membebaskan kata dari penjajahan makna, ingin mengembalikan pada kata pertama, yakni mantra. Realitasnya, kesan saya sama dengan NJ bahwa dalam puisi-puisinya SCB sekadar menjungkirnalikkan kata semaunya. Lalu setelah banyak pembaca dan kritisi dinilai kurang cerdas menangkap sinyal-sinyal puisi SCB, SCB yang semula emoh bertanggung jawab, lalu menulis pengangantar khusus untuk menerangjelaskan karya-karyanya. Dalam konteks ini lalu terlihat inkonsistensi kepenyairan SCB (pada satu ketika menolak bertanggung jawab dan pada ketika lain justru menerangjelaskan karya-karyanya).”
Pada bait dua,yang merupakan penegas bait pertama. Dam dalam siratan pesannya ke penyair masa kini, masih tidak terlepas dengan simpul pembuka pada dua baris pertama bait pertama “//buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan/apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian//, hanya saja melalui repetisi “//buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang// ingin menegaskan, bahwa dalam perjalanan proses pematangan dan atau pencarian jati diri “tumbuh sepanjang tualang”, apakah sebagai penyair kita hanya berkutat dengan kekuatan makna saja, dan kembali kemainstrem karya-karya semacam angkatan pujangga lama dan pujangga baru sahaja, atau kita berani melepaskan panah kreasi yang melesat melebihi mereka? Atau memang penyair kekinian itu tidak bisa lepas dari baying-bayang pedahulunya semacam apa yang disyiratkan dam dama baris “mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros”.
APAKAH sastra Indonesia sedang sakit, sekarat, atau kritis sehingga perlu diselamatkan?(dikutip dari Catatan: Dimas Arika Mihardja: “PENYELAMATAN SASTRA INDONESIA”).
Entahlah, yang pasti dengan larikan teduhnya, sesuai dengan motonya di BPS, suatu wadah pembinaan para pencinta karya sastra, “asah, asih, asuh”, Dam menutup puisi indah sarat kebaharuan piker dengan 3 baris yang secara terang bisa kita cecap pesan dan atau makna yang tersirat pun terusrat di dalamnya :
“buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!”
Salam lifespirit!
(Imron Tohari – lifespirit, 15 January 2012)
Kejora dan Cahaya
Diposting oleh
Imron Tohari
on Minggu, 01 Januari 2012
Label:
puisi kehidupan,
puisi kontemplatif
/
Comments: (0)
Kejora dan Cahaya
:/Teja Alhabd Sang Kejora
menapis rindu
lamunan itu masih dalam genggaman
gerimis tak juga usai membasah bumi
di ujung jalan setapak
sayup sayup suara ranting patah
menyatu dengan hembus angin utara yang
menusuk -nusuk ke dalam tulang
dari arah yang entah
suara semakin jelas terdengar, walau lirih
:” kejora, iakah itu engkau
datang bersama matahari”
pada lamunan rindu yang gamang mengiris
angin sesekali meniup daun jatuh
nestapa serasa tiada berkesudah
mengorbankan jiwa seakan lebih mudah
tapi mengikat tali-tali cinta pada pembuat gerimis
adalah sulit dan berat, bahkan
hanya sekedar untuk bismillah
kejora
sejak hati ditasbihkan pada cinta yang api
perasaan halus lembut sering heran dan menderita
di lingkar doa
lihat diri sendiri ringkih memanggul nisan
nurani menjerit-jerit
: Oh, padaMu sungguh
dibakar rindu
(lifespirit , 2 Januari 2012)
Catatan : Beberapa kalimat dalam puisi di atas saya suting dari salah satu komen sahabat baikku Tedja Alhabd dalam salah satu noteku di tahun 2011.