Esai Ringan : Memetakan Kata atau Kalimat pada puisi/sajak, serta esensinya terhadap pemaknaan karya secara utuh.

Esai Ringan : Memetakan Kata atau Kalimat pada puisi/sajak, serta esensinya terhadap pemaknaan karya secara utuh.


KULMINASI SEMU

Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku, siapa

Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha

Dimana kamu ??
Dimana aku??

Hilang tenggelam
Dalam jejak bayangan diri
_____________________________
@ Lina Kelana, Babat, Maret 2010


Secara kandungan makna, puisi di atas sudah bagus. Diawali dari rasa gamang, di sini pengkarya cipta melalui bahasa isyarat ingin menyampaikan tentang pencarian jati diri/identitas diri/sejatining insun…, yang betapa semakin tipisnya kesadaran akan nilai-nilai keimanan, terutama yang berkaitan dengan unsur transendental ( kerohanian, utamanya dengan Tuhan ), tersirat pada “Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha“ , karena adanya dorongan rasa yang teramat sangat ( bisa takut,cemas,gundahgulana ) akan kemenonjolan sifat-sifat ego serta hembusan goda dari bisikan-bisikan indah dunia yang tiada kekal.

“Hilang tenggelam
Dalam jejak bayangan diri“.

Begitulah pesan kuat yang saya tangkap dari larik-larik isyarat bahasa sajak “Kulminasi Semu”. Yang secara ensensial makna sangat dekat dengan nilai-nilai pencarian diri dan Tuhannya.

Walau dari sisi makna, seperti yang saya katakan sudah bagus, namun pada dasarnya karya ini masih bisa lebih dieksplore lagi, sehingga penikmat baca begitu selesai membacanya, tetap berada dalam nilai renung yang tak berkesudahan. Hal ini bisa saja dengan cara memanfaatkan tekhnik tipographipuitika ( memetakan kata/kalimat), bisa juga dengan cara penambahan,penghilangan/pemadatan, penggantian kosakata yang dianggap lemah, dll.

Pada proses kreatifitas penciptaan karya sastra, tidak jarang pencipta karya, setelah melalui tahap pengendapan karya, merasa buah karya tersebut kurang maksimal dan atau dirasakan mempunyai kelemahan dalam menuangkan idea tema ( bisa saja pilihan diksi yang kurang tepat, permainan majas yang absurd, permainan perlambang/symbol bahasa yang rancu dalam kesatuan makna utuh baris/bait/batang tubuh karya secara keseluruhan, atau pemborosan kata/kalimat sehingga karya jadi kurang menarik, dll ).

Pemadatan , serta pemetaan kata, kalimat, baris, bait, larik, dan lain hal yang terkait, atau bahasa kerennya tipographipuitika, bila dilakukan pengkarya cipta dan atau oleh editor dengan tidak tepat, justru akan menyebabkan bangunan makna secara keseluruhan yang ingin diletupkan kepermukaan melalui tekstual bahasa, menjadi kabur pesan, sehingga hal-hal pokok secara intrinsik makna dari penyatuan beberapa kata/kalimat tersebut tidaklah relevan dengan maksud pesan tema pada karya terkait.

Sekarang mari bersama-sama kita pindai larik per larik “Kulminasi Semu” karya saudari Lina Kelana ini.

“Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku, siapa”


Pada bait awal ini, pemaknaannya jelas terbaca,sebagai bait pembuka untuk pijakan luncur pada bait selanjutnya, saya rasa bait ini sudah mewakili. Dengan pesan tersirat : dalam hal ini bukan siapa-siapa, termasuk kamu juga aku “Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku,siapa “ (nah pada kata “siapa” setelah tanda (,) di baris akhir bait pertama, saya menangkap adanya isyarat pokok/ mendasar yang ingin disampaikan pada bait selanjutnya dan juga rasa gamang dari aku “lirik” ). Bait awal ini bisa lebih bunyi bila kita padatkan seperti ini :

“bukan kamu
bukan juga aku
ataukah sesiapa”


Pada larik gubahan ini, “siapa” saya ganti dengan “sesiapa” yang saya tambah tautkan dengan “ataukah” sebagai bentuk Tanya, sekaligus untuk memberi efeck ellipsis (menggambarkan atau menunjukkan bahwa dalam suatu petikan ada bagian yang dihilangkan; disembunyikan) pada “sesiapa” tanpa menggunakan symbol bahasa ellipsis (...). Dan pada puisi atau sajak, pemakian atau penghilangan simbolik tanda baca ( ?,!,:,;, …., dll) masih bisa dibenarkan untuk menyertakan atau tidak menyertakan, dengan suatu asumsi, ritme akan bisa dirasakan saat pembacaan, juga sifat karakteristik unik yang ada pada sajak atau puisi, menyebabkan simbolik tanda baca tadi bisa bermain secara fleksibel. Dan hal ini tidak bisa kita dapati pada prosa, dimana tanda baca mempunyai peran yang fital dalam penyampaian maksud. Jadi walau pada bait pertama ditulis seperti ini pun : // atau sesiapa/pun siapa//, tetap saja mempunyai arti dan maksud sama, yakni “ atau(kah) sesiapa”, dengan menambahkan akhiran “kah” tadi yang serupa kalimat mempertanyakan, dan kalimat seperti itu biasanya akan meluncur pada saat kita ragu/gamang.

Coba kita rasakan, kalimat ini : “atau sesiapa” tidak ada efek mempertanyakan dengan “ataukah sesiapa” yang terasa sekali efek mempertanyakannya.

Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku, siapa


Itu dua baris asli Lina. Kalau kita baca/deklamasikan. Maka akan terasa getar Tanya setiap baca setelah simbolik tanda baca (,) apa lagi setelah tanda (,) di baris akhir yang hanya satu kata “siapa”.

Dengan dasar tersebut, untuk memapatkannya tanpa merubah maksud, saya bubuhkan akhiran “kah” pada kata “atau” untuk mendapatkan efek yang sama dengan aslinya, efek Tanya “ (,)apa”

“ataukah sesiapa “ > yang merupakan refleksi penokohan "kamu", "aku" dan atau "siapa saja” bisa “kamu”, bisa juga “aku”


Dari bait awal ini, khususnya baris terakhir ( baik sebelum atau sesudah nanti saya gubah), yang menyisakan lubang besar Tanya berselubung misteri, kita diajak masuk ke dunia symbol bahasa filsafat yang termaktup pada larik/bait ke dua :

“Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha”


Sebelum saya menyimpulkan makna apa yang terkandung pada bait ini, sebenarnya saya sempat bertanya-tanya dalam imaji piker selaku penghayat. Kenapa pengkarya cipta menyatukan kata “pelepah” dengan “raga”, sedangkan “pelepah” identik dengan alam tumbuhan, dan “raga” seperti yang sering kita dengar di kehidupan sehari-hari , identik dengan “badan; tubuh ; hayat ; awak ; fisik; jasad”. Lalu kenapa disatukan dalam satu baris tegas, dengan diawali kata “menyentuh” yang berkonotasi “ bersinggungan, gesekan yang menimbulkan efek tertentu?”.
Sepintas lalu, penyatuan tiga kalimat “menyentuh-pelepah-raga”, adalah penyatuan yang absurd, dan kalaupun berupa majas metaphora, sepertinya juga terkesan naïf ( lugu ).

Benar-benar bait yang menghisap penikmat baca, meletupkan rasa penasaran untuk menguak misteri symbol bahasa tadi. Dan layaknya seorang detektif yang dihadapkan pada jejak-jejak symbol bahasa yang ditemukan pada “teks”, muncul utak-utik nakal di imaji piker saya :

apa pelepah?
apa raga?


dan apa kaitannya dengan "aku" "kamu", "jejak", "bayangan", "diri" yang ada pada bait sebelum dan sesudahnya?

Saya yakin, penyatuan itu ada maksudnya dengan keruntutan alur makna dengan bangunan kalimat lainya pada sajak ini secara utuh. ( atau bisa saja penyair tidak sadar dengan penyatuan kata tersebut pada satu baris, namun itu terjadi karena adanya proses alam bawah sadar yang mengalir begitu saja. dan kekuatan alam bawah sadar itu memang saya secara pribadi yakin ada ).

untuk menguak misteri , maka saya mulai dari “pelepah”, definisi ; tulang daun yang terbesar (tentang daun pisang, daun pepaya, daun…, dsb); tangkai daun nyiur, tangkai rotan, dsb. Yang secara naïf saya filsafatkan sebagai sesuatu keadaan pada tanaman yang bila dimanfaatkan mempunyai suatu pengaruh yang maha (bisa sangat baik, bisa juga sangat buruk). Dari sini saya mulai kaitkan dengan kata “menyentuh”, yang sebenarnya punya makna ganda, “menyentuh” sebagai definisi gesekan, atau definisi dari “rasa” yang membangkitkan perasaan haru, sedih, takut … dsb, di hati.

Jadi kalau digabung “menyentuh pelepah”, saya terjemahkan seperti ini “ menyentuh tulang daun yang terbesar”. Dari sinilah saya menarik kesimpulan, “raga” yang dimaksud pada baris pertama bait kedua, bukan “raga” dalam pengertian yang selama ini sering kita dengar. Tapi “raga” yang dimaksud tidak lain dan tidak bukan dari “keranjang yang kasar terbuat dari rotan” ( rujukan KBBI ).
Kalau analisa saya membaca sifat-sifat symbol bahasa tadi benar, maka secara imajinatip akan terangkai “menyentuh tulang daun yang terbesar untuk dijadikan keranjang dari rotan “. Yang secara otomatis rasa imaji piker saya dihisap ke ranah filsafat. Namun untuk mendapat makna yang relevan, tidak hanya sampai di situ, dalam arti, setelah kita ambil kesimpulan definisi “raga” yang dimaksud adalah “ keranjang yang terbuat dari rotan dan biasanya dipakai sebagai tempat buah, maka kita juga harus tahu hal-hal yang berkaitan dengan anatomi tubuh rotan ( minimal yang berkaitan dengan pelepah daun ). Dan ternyata Pelepah daunnya membungkus batang ,dan pada permukaan pelepah dipenuhi oleh duri yang rapat dan tajam (berdasarkan referensi yang saya dapat), apa lagi bila kita kaitkan dengan baris di bawahnya “ memasuki ruang maha “, yang secara makna lesikal ( makna yang berkaitan dengan kata/kosa kata ) kurang lebih bermakna “ memasuki ruang antara yang teramat sangat “. Dan ruang makna akan semakin bertambah luas dan dalam, bila mana baris ke dua pada bait ke dua tersebut lebih dioptimalkan lagi dengan tekhnik tipographipuitika menjadi :

“masuki ruang
maha”


Sehingga akan kian merangsang daya jelajah penghayat/penikmat baca dalam menghayati isyarat bahasa symbol yang dia tangkap melalui imaji pikernya. Sehingga bila disatukan dengan baris sebelumnya, akan kian memperkokoh bangunan sajak, baik ditinjau dari segi konotasi (nilai rasa yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dan pengalaman pribadi) maupun secara detonasi bahasa (kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa, seperti orang, benda, tempat, sifat, proses, kegiatan, dll), :

“menyentuh pelepah raga
masuki ruang
maha”


Secara fisik teks kita dapatkan suatu makna : bilamana kita ingin membuat keranjang rotan agar bisa kita isi dengan buah, kita juga harus siap bersinggungan dengan pelepah daun rotan yang banyak duri-duri tajam nan runcing “menyentuh pelepah raga”, dan bimana itu tetap dilakukan, itu artinya masuk dunia antara … “memasuki ruang” yang dalam hal sesuatunya teramat sangat… “maha”.

Yang secara filsafat spiritual saya maknai, dalam pencarian hakikat iman, setiap insan harus siap dihadapkan pada suatu proses (ritus), yang tak jarang akan memasuki ruang sunyi, dan atau bahkan akan dihadapkan pada sesuatu hal yang teramat sangat sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Jadi, bila ditilik secara konotasi maupun denotasi, justru penyatuan kosa kata “menyentuh-pelepah-raga” dalam satu baris utuh, saya rasa sangat relevansi. Dan hal itu yang melandasi saya untuk tetap mempertahankan keutuhan baris tersebut.

sebab kalau dirubah seperti ini :

misal alternatif pertama ;

“menyentuh pelepah
raga
masuki ruang maha”

atau dengan alternatife ke dua ;

“menyentuh pelepah
raga masuki ruang
maha”


Justru secara konotasi maupun denotasi akan menjadi lemah bila dikaitkan dengan bagunan awal baris yang ingin disampaikan pengkarya cipta melalui isarat simbolik bahasa pada baris awal bait dua “menyentuh pelepah raga” yang ternyata merupakan pokok paling mendasar dalam menjembatani serta membangun pesan-pesan pada bait sebelum dan sesudahnya di dalam batang tubuh puisi secara utuh. Sebab pada alternative pertama “raga” berdiri sendiri jadi baris terpisah dan atau “raga masuki ruang maha”, akan sulit untuk membawa imaji penghayat kearah pengertian “raga” yang bukan bermakna “badan; tubuh ; hayat ; awak ; fisik; jasad”, bukan berarti hilang makna, tapi maknanya akan menjadi lain bilamana “raga” yang dimaksud adalah “ keranjang buah yang terbuat dari rotan “.

Pada permisalan dua alternative tadi, bila kita ilustrasikan maknanya perbaris secara fisik teks akan seperti ini :

“menyentuh pelepah” ; menyentuh tulang daun yang terbesar (tentang batang/daun pisang, batang/daun pepaya, batang/daun…, dsb)
“raga masuki ruang” ; badan,tubuh,jasad,hayat,dll, masuk ruang ( sela-sela antara dua sisi )
“maha” ; sesuatu yang sangat


Dan bila kita gabung secara keseluruhan bait tersebut, akan bermakna “menyentuh batang pisang, tubuh atau jasad masuk kedalam ruang atau sela-sela diantara dua sisi yang teramat sangat” dan atau singkatnya apalagi kalau bukan bermakna “Kematian/proses pemakaman” sedang kalau meruntut ketertautan makna secara menyeluruh, aku, kamu dan atau sesiapa lirik , tidak digambarkan sudah mati, tapi masih hidup dan diatara dua sisi pencarian jati diri,dalam keadaan gamang seperti terlukis pada baris akhir bait pertama, dan ritus keimanan yang di ilustrasikan pada bait pertama bait dua “menyentuh pelepah raga”.

Atau bisa juga akan tertangkap visualisasi seperti ini di imaji penghayat :

“menyentuh pelepah “ > menyentuh kotoran/sampah ( tapi ingat, pelepah identik dengan sesuatu yang berbau tanaman ; pelepah daun pisang ( lebih umum ), detai di atas dalam esai ini! Jadi kalau ingin lebih luas ruang lingkupnya, lebih baik di tulis saja “sampah”, sehingga bisa berupa sampah apa saja. Tapi kalau “ Pelepah”, sudah pasti sampah yang ditimbulkan dari adanya tetumbuhan. Contoh lain : pelepah tebu : ampas batang tebu.
“raga masuki ruang” > Saya yakin 100% bila seperti ini, imaji penghayat pasti akan ke definisi “jasad,nyawa,tubuh,dll”. Sulit rasanya akan terpikirkan ke makna “raga” yang lain atau seperti yang telah saya urai di atas.


Andaipun “raga” dimaknai sama bukan jasad,nyawa,awak dll :

menyentuh pelepah (batang dedaunan)
(keranjang) (me)masuki ruang ==> ruang dalam batang
(yang): maha


Secara makna tetap ada tertangkap, namun penghayat saya yakin tidak akan mendapatkan detailnya. Sebab pemaknaan baris pertama lasung terputus pada “pelepah”, yang pelepah berpengaruh apa? Atau
menyentuh (batang dedaunan) > dedaunan apa? Kurang meletupkan adanya emosi
(keranjang) (me)masuki ruang ==> ruang dalam batang > malah terkesan membingungkan. Anggap “keranjang sebagai obyek” di sini proses batang menjadi keranjang juga kurang kuat ( kalau tidak boleh saya katakan tidak ada ).

Memang dalam segi makna sama-sama mempunyai nilai kemenonjolan pada unsur-unsur kerohanian ( transcendental), yang membedakan kedua hal tersebut hanya pada cipta ruang imaji penghayat sahaja yang lebih luas dan dalam.

“Dimana kamu ??
Dimana aku??”


suatu tekstual bahasa yang sangat jelas pemaknaannya dua baris kalimat pada larik/bait ke tiga. Namun kalau diikat dengan bait sebelumnya terasa mengalir begitu saja, dalam pengertian kurang memberi nilai kejut yang bisa menambah artian yang serba “maha”, sekaligus tetap ada unsur Tanya sebagai bentuk rasa “gamang” yang telah disiratkan pada bait pertama baris akhir sebelumnya.

Atas pertimbangan tersebut, bait tiga saya sederhanakan menjadi :

“kamu
aku
dimana?”


Dengan suatu analisa, bila tersatukan utuh dalam keseluruhan batang tubuh puisi (bait 1,2,3,4), dimana bait empat juga saya gubah dengan dasar alasan yang sama, dengan tujuan menciptakan ruang kedalaman renung untuk pengkarya cipta dan penghayat,

“hilang; tenggelam
dalam jejak
bayangan
diri”


dipilih “hilang;tenggelam”, didasari dari sentral awal narasi sajak yang dikarenakan adanya proses gamang “aku” lirik. Yang mana diperkuat dengan “dalam jejak” yang berarti masih menyisakan suatu perlambang-perlambang yang bisa digali dari hal-hal yang dinyatakan” hilang” dan atau “tenggelam” tersebut.

hilang > dalam arti benda yang dimiliki atau yang tadinya ada memang telah benar-benar hilang atau sudah tak ada wujudnya lagi . Sedang tenggelam saya pisah setara sebagai perlambang : Sama halnya kita punya benda tapi tidak bisa menyentuhnya ( sia-sia! ).

Saya yakin bilamana "bayangan diri" menyatu pada satu baris tak terpisah, justru akan lebih mempersempit ruang imaji penghayat, karena penghayat langsung dihadapkan pada arti yang sebenarnya, yakni “lebih identik dengan cerminan diri yang langsung menunjuk pada orang ( bisa diri sendiri, bukan benda! ), dan dari sana saya berani katakan kalau hal tersebut hanya akan merujuk pada satu pengertian.

Beda kalau “bayangan diri “ dipisah pada baris berbeda, di sana akan kita temukan suatu ruang interprestasi yang sangat luas pada bait penutup, dia akan menjadi sebuah pertanyaan-pertanyaan yang menggantung, sehingga terjadi suatu koherensi serta letupan emosional secara alur utuh. Ingat, inti dasar dari sajak ini adalah “monolog” yang timbul dari suatu keadaan gamang (adj, merasa takut (ngeri serta khawatir) ) dan dalam keadaan seperti ini “gamang”, biasanya muncul pertanyaan-pertanyaan pada diri yang bersifat “gantung” ( baca : tarik ulur untuk menemukan kebenaran jawab dari beberapa kemungkinan Tanya jawab “monolog” yang terjadi ).

Jadi dengan dipisah, kesan gantung jadi kian kental, dan saya yakin akan menghisap pembaca untuk menelisik rahasia kata yang di buat berdiri sendiri tersebut :

“bayangan” > makna yang ingi aku siratkan : 1 ruang yang tidak kena sinar karena terlindung benda; 2 wujud hitam yang tampak di balik benda yang kena sinar; 3 gambar pada cermin, air, dsb; 4 rupa (wujud) yang kurang jelas dalam gelap; 5 (ki) gambar dalam pikiran; angan-angan; khayal; 6 tanda-tanda akan terjadi sesuatu; 7 sesuatu yang seakan-akan ada, tetapi sebenarnya tidak ada; 8 sesuatu yang sudah siap bekerja bilamana diperlukan”

“diri” ========> orang seorang atau terpisah dari yang lain, memang untuk menimbulkan tanya jawab pada imaji pikir penikmat baca sebagai akhir renungan > (diri apa/siapa/kenapa?)
Dan “diri” saat tunggal terasa senyapnya,kalau ditarikan benang merah dengan baris di atasnya, betapa luas makna yang terkandung.

Sehingga secara lengkap hasil editing tersebut akan seperti ini :

KULMINASI > judul akan lebih member ruang luas di imaji penikmat baca.

bukan kamu
bukan juga aku
ataukah sesiapa...
menyentuh pelepah raga
masuki ruang
maha

kamu
aku
dimana?

hilang; tenggelam
dalam jejak
bayangan
diri”



Untuk lebih memahami apa yang saya maksud, mari bait-bait diatas kita parafrasakan biar tujuan dari maksud tiphographipuitika tersebut tertampakan.

bukan kamu
bukan juga aku
(lalu siapa?) ataukah sesiapa...
(yang akan berpayah-payah )menyentuh pelepah raga
(dan kemudian) (me)masuki ruang (…)
maha (; sesuatu yang sangat)


(maha) kamu
(maha) aku
dimana (itu semua sekarang)?

(yang tiba-tiba )hilang; tenggelam
(tertelan) dalam jejak (…)
(dalam) bayangan (…)
diri (…)


Lalu untuk menganalisa, apakah karya yang sudah dipadatkan dan dipetakan kosakatanya tersebut sangat jauh menyimpang maknanya dengan yang aslinya?
Untuk itu mari coba kita parafrasakan dengan cara yang sama.

KULMINASI SEMU


Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku,(lalu) siapa

(yang akan berpayah-payah ) Menyentuh pelepah raga
(dan kemudian) (me)Masuki ruang maha

Dimana kamu (itu semua sekarang)??
Dimana aku (itu semua sekarang)??

(yang tiba-tiba ) Hilang tenggelam
(tertelan) Dalam jejak bayangan diri

Catatan : Parafase biasanya dipakai penghayat sebagai alat bantu dirinya dalam usahanya menerjemahkan maksud/isi/kandungan/makna secara perbaris/perbait/secara keseluruhan dari batang tubuh sajak. Dan yang biasa terjadi, masing-masing penghayat akan berbeda dalam memparafasekan suatu karya, sehingga sangat memungkinkan makna yang diserap masing-masing penghayat akan sama atau justru akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Parafase ini dimanfaatkan karena sifat unik puisi/sajak yang padat kata.


Akhir penulisan esai ringan dari sajak kaya makna spiritual dan kaya akan filsafat kehidupan pada setiap baris sajak saudari Lina Kelana ini, dengan segala rendah hati saya berharap ada yang bisa dipetik manfaatnya. Amin3x.

Salam lifespirit!
__________________________________________
@ Imron Tohari_lifespirit 21 Maret 20010.

Mendewakan Pikiran Bertarung Dengan Tuhan

oh,Tuhan
dalam alam Kau titip kalam
tapi kenapa entah
dedaunan melayuk ;meresah
menitip pilu pada sekian purnama
mengendap

saat langit memerah saga
layuh kenangan legam asmara
airmata
rinai
di mural-mural kota
lampu-lampu jalang
meningkap di urat-urat malam
anak-anak manusia serupa hantu
bagai ulat, merayap tatap
tanpa doa-doa
cawan-cawan cinta retak
material nafsu terbahak
menetak sulur tiang kejujuran
mengatas namakan kebenaran-
kebenaran yang entah

di mural-mural kota
diantara lampu-lampu jalang
orang tak beriman mendewakan pikiran
hawa nafsu meniadakan Cinta Kasih

__________________________________________________________
@ Imron Tohari,lifespirit 27 Maret 2010 rev 21 March 2011


Layuh ; lumpuh/sangat lemah/tidak bersinar,sayu
Melayuk ; meliuk ke kiri dan ke kanan
su•lur n 1 julai (dr tumbuhan yg menjalar dsb); pucuk batang muda (dr beberapa tumbuhan); 2 akar yg tumbuh dr cabang dsb (spt pd pohon beringin); 3 garis (kawat dsb) yg berlingkar-lingkar pd suatu pusat hingga menyerupai per rambut pd arloji (alur pd sekrup dsb); 4 batang atau bagian batang (cabang atau ranting), daun, tangkai daun, atau bagian daun lainnya yg telah mengalami perubahan bentuk dan berfungsi sbg alat pembantu tumbuhan untuk menjalar atau merambat pd sandaran atau penunjang tumbuhan

Pemburu yang Diburu



Pemburu yang Diburu


kulihat diri asyik memandang langit
dan sesiapa saja; termasuk aku
di punggung-punggung keadaan
pemburu bisa serupa yang diburu
yang diburu bisa serupa pemburu

saat memandang awan, pagi
perlu keyakinan memanah matahari
yang sinarnya memancar itu
jadikan benih kuasa
menetak penggal kecamuk amuk ,hati!
matahari-ku-mu-lah pemburu
berdiri tegak menatap dunia

saat malam, mata jasmani kugantung
untuk langit
mata hati menetak bulan
yang sinarnya memancar itu
aku
pemburu
diburu

duhai,o,duhai pemilik cahaya
di punggung-punggung keniscayaan
bila aku serupa duri
biar aku menjadi duri yang
menyelimuti tubuh kaktus

______________________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit, 25 Maret 2010/rev/22 Juni 2011

Catatan : Pada kaktus dan beberapa tumbuhan daerah kering lainnya (xerofit), duri merupakan modifikasi dari daun. Fungsi metabolism daun sepenuhnya dilakukan pada epidermis batang dan daun berubah menjadi duri untuk mengurangi transpirasi (Bahasa Inggris:transpiration; hilangnya uap air dari permukaan tumbuhan). Sumber dari Wikipedia bahasa Indonesia.

Demi Masa


Foto hasil jepretan : Triyono W



#1

malam
syahdu
di kebun-kebun jiwa
lembar daun dirayu embun juga
debu-debu bilik, pengap
berterbangan berlaksa tanya

: tlah berapa pergantian purnama
terengguk anggur dari cawan-cawan ma’rifat?


#2

O, bukan hal kesendirian itu
bilabila datang angin
menjelma badai
ketidakberdayaan telimpuh
di tipis ari-ari rahim ibu
kedai-kedai jiwa itu
tempat musafir
menatap cahaya bulan
bertasbih
Yaa Rabb
Yaa Rabb

“tidak hanya satu tuhan yang menyulang anggur
juga saat datang Hudzaifah Ibnu Yaman pada Utsman Ibn Affan
selepas perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan
kubiarkan pikiran menjelajah belantara ma’rifat
agar aku tahu keberadaan tuhanku yang sebenarnya”


#3

demi masa
malam dan siang bersaksi
: diantara mushaf-mushaf
berapa banyak darah telah menetes
menyatu tanah
kering darah menjelma saga
hingga purna
purnama membuka pintu langit
disana
seutuh mushaf
para malaikat khusuk
merajut sembilan puluh sembilan nama
sepenuh-penuhnya menghamba
sebaik-baiknya mencinta
: TUHAN



#4

Yaa Khalikul Alam
angin tak badai
tapi nuri di pucuk pinus tak! lagi nyaring
desah angin enggan mencumbu juga
sedang ransum kubawa, enggan kusentuh

mestikah ragu
sedang semua, ke semuanya
pada jiwa berbisik,

Ainul-yaqin*



#5

o, demi masa
katakan pada-ku,
di hari mana bisa menghindar
saat panah melesat; menujah
jantung
berharap secawan anggur
sampai lalu
ketakutan ketakutan itu datang
melafadz cinta:

“ bawa aku
bawa aku; aku-ku
kedukaanku
mencumbu langit “


____________________________________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit (peleburan dari 3 sajak relegi: bilik, tilawah,mencumbu langit )

Adapun peleburan 3 sajak ini terinspirasi catatan penuh hikmah “DEMI WAKTU” saudari Ilsa Yulia yang dikirim ke inbok saya tanggal 11 Maret 2010, jam 14:50.

Kamus kecil :

Bilik: ruangan kecil
pengap: serasa penuh sesak (seperti dalam kamar sempit yang tidak berjendela)
telimpuh : bersimpuh
Mushaf ( bhs Arab ) ; secara harafiah berarti kulit/buku ; bagian naskah Alquran yang bertulis tangan ( KBBI )
Ainul-yaqin = Kepastian yang diperoleh/didapat dengan penglihatan



Surat Ilsa Yulia melalui email FB, 11 Maret jam 14:50

DEMI WAKTU !!!

Allah berfirman : "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kebenaran." (Al Ashr: 1-3).



Akhi….
Perlu diketahui, sesungguhnya modal bagi seorang muslim dalam mengarungi kehidupannnya di dunia ini adalah kesempatan waktu yang sangat singkat, denyut-denyut jantung yang terbatas, dan hari-hari yang terus berganti. Dan akan menjadi suatu keberuntungan baginya, jikalau ia mau memanfaatkan kesempatan dan detik-detik waktu tersebut untuk kebajikan. Pada hakekatnya waktu bagi manusia adalah usianya. Waktu adalah inti hidupnya yang abadi. Berjalannya waktu, tak ubahnya seperti awan. Jika waktu dimanfaatkan untuk Allah dan menyembah-Nya, maka itulah nilai yang paling mahal untuk umurnya. Dan apabila waktunya dimanfaatkan untuk hal yang tak berguna, maka nilai umurnya tak lebih seperti umur binatang. Dan kematian baginya lebih baik daripada hidupnya. Dan perlu akhi ketahui pula, kalau umur manusia di dunia ini seperti musim tanam di dunia dan memetik hasil tanaman di akherat nanti.

Akhi…
Tentunya akhi tahu, kalau Allah sesungguhnya pernah bersumpah dengan waktu. Dan sesungguhnya sumpah yang pernah diucapkan Allah melalui firman-firman Nya, mengisyaratkan bahwa manusia sangat akrab dengan keburukan dan malapetaka dikarenakan terlena dari kejapan masa. Sumpah Allah pun juga mengisyaratkan tentang kemuliaan dan ketinggian waktu. Perlu Akhi ketahui, kalau kesengsaraan dan kerugian yang menyertai manusia dikarenakan oleh sikap menyia-nyiakan waktu. Padahal bukankah usia manusia sangatlah pendek?. Tetapi, setiap detik usia yang dilewati akan dipertanggungjawabkan kelak di hari kiamat nanti. Rasulullah Saw pernah bersabda : "Kedua kaki seorang hamba tidak akan melangkah pada hari kiamat sehingga ia ditanya terlebih dahulu tentang empat perkara yaitu; tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya, untuk apa ia lewatkan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkannya dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang ilmunya, untuk apa ia gunakan."

Akhi…
Hari demi hari silih berganti, malam demi malam saling mengikuti, dan begitu seterusnya. Dan manusia adalah musafir yang sedang menelusuri perjalanan yang ditemani waktu hingga sampai pada titik akhir perjalanan. Dan setiap orang adalah bagian dari kafilah umat yang terus berjalan silih berganti dari generasi ke generasi dan berakhir pada suatu tempat yaitu surga dan neraka. Seorang musafir yang bijak, pastinya menyadari bahwa perjalanan adalah tugas berat dan penuh tantangan yang tidak mungkin untuk dapat dinikmati dengan indah. Sebab kenikmatan akan ada setelah ia sampai ke tempat tujuan. Dan ia pun akan menyadari bahwa setiap detik yang dilaluinya dan setiap kaki yang melangkah dalam perjalanannya tidak mungkin berhenti. Sehingga Ia pun harus terus mempersiapkan diri dengan bekal yang cukup.

Akhi…,
Suatu ketika Ali Ra, pernah berpesan kepada para sahabatnya : "Dunia telah pergi meninggalkanmu dan akhirat akan datang menjemputmu. Dunia dan Akhirat mempunyai hamba saudaraku!, maka jadilah engkau hamba akhirat, dan jangan pernah kau menjadi hamba dunia. Sebab hari ini (baca; dunia) adalah amal bakti, bukan perhitungan yang dirinci. Sedangkan esok hari (baca;Akhirat) adalah perhitungan bukan amal bakti."

Akhi…
Ada dua saat dimana manusia menyesali dirinya, yang pertama adalah, saat menanti ajal tiba yaitu, ketika manusia sedang berada dalam keadaan akan meninggal dunia dan menghadapi akhirat. Dan kadangkala manusia berandai untuk diberi sekejap waktu agar dapat memperbaiki kekurangan dan menebus apa yang terlenakan. Dan yang kedua adalah, di akhirat kelak, dimana seluruh amal perbuatan diberi balasan.

Akhi…
Memang sering terlintas dipikiran dan di benak, untuk apa kita hidup?, dan ternyata pertanyaan itu dijawab seorang sahabat bernama Abu Darda, "Seandainya bukan karena tiga hal, aku tidak ingin hidup meskipun hanya satu hari. Siang hari aku dahaga pada Allah dengan menghindari larangan-Nya, bersujud di tengah malam, dan bergaul dengan orang-orang yang memilih tutur kata yang manis seperti memilih kurma yang baik."
Umar bin Abdul Aziz melukiskan bahwa, Kehidupan di dunia ini bukanlah suatu keabadian. Dimana Allah menentukan kefanaan dunia dan kepergiaan makhluk-Nya menuju satu titik perjalanan. Tetapi berapa banyak bangunan kokoh yang dihancurkan karena alasan melenakan. Dan berapa banyak pula kesenangan hakiki ditinggalkan demi ilusi yang tak berarti. Maka pergilah mengarungi perjalanan, dengan kesiapan dengan kesiapan yang baik menghadapi rintangan dan berbekallah dengan ketakwaan sebab ketakwaan adalah sumber kebaikan.

Maka dari itu Akhi…
Sebuah pesan jujur dan nasehat yang mulia pernah terlontar dari seorang Fadhil bin Iyadh, ia berkata : "Berpikirlah dan berkaryalah sebelum datang penyesalan. Jangan terpesona oleh gemerlap dunia, karena dunia pasti akan menipunu !"
Begitupun Umar bin Abdul Aziz berpesan : " Jadilah orang asing, di negeri asing ini (baca; dunia), dengan itu, pikiranmu akan selalu tercurah untuk membekali diri dan mempersiapkan diri untuk kembali lagi. Atau bersikaplah engkau dinegeri asing ini seperti pengembara seorang diri yang tidak bermukim sama sekali. Sehingga di siang dan malam, engkau terus berjalan menyusuri dunia ini menuju satu tujuan.

PADA KEMATIAN

PADA KEMATIAN

aku belum pernah mati, tapi banyak orang tua bilang
: saat roh dicabut keluar dari ubun-ubun
tanah-tanah meretak
menelan jerit serupa mesiu
yang desing ; berdentam
lalu dedaunan purna; luruh
tanpa ranting

di langit luas
angin tak bermahkota
saat roh mulai melayang
di tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati!
tidakkah itu menjadikan sebab terlihat
tanah-tanah siap menghimpit lalu
menunjukkan urat-urat tangannya yang kokoh
siap meretakkan tulang: kesorangan

lalu di mana Tangis ; Tangisan ?

o, tangisan mengeram di rongga-rongga udara
sedang nafas kematian melengking King!
di Kuil-kuil;Gereja-gereja;Masjid-masjid
sambil berkatakata. Malam
tanpa lampu ; tanpa lolong ; tanpa tangis
tertinggal
jejakjejak hamba gemetar
di gantung bulan di bayang suram
melebur: pada Sing: pada Kung,

mata meretak
tanpa tatap

“berurai, pun
sibuk mencari tempat”


_____________________________________________________________________________________
@Imron Tohari _ lifespirit 4.12.08, diperbaharui berdasarkan inspirasi catatan sarat renungan sahabatku Ilsa Yulia via in bokku, 11.3.2010


Catatan kecil :
sing : bunyi mendesing
kung: tiruan bunyi gong dipukul atau bunyi anjing menggonggong
Purna : usai ; jadi
kesorangan : tersendiri; terasing (dl kesendirian)


Ilsa Yulia :
SAAT NYAWA TERCERABUT

Sahabatku

Kehidupan manusia di dunia, tak ubahnya sebuah perjalanan yang pasti ada akhirnya. Dan tahukah sahabat apa yang akan menjadi akhir dari perjalanan kita di dunia ini – untuk selanjutnya memulai sebuah perjalanan baru ke negeri yang masih asing? Itulah kematian. Kematianlah, akhir kisah hidup kita di dunia.

Lalu, adakah kita siap menjumpainya ketika malaikat pencabut nyawa sudah datang menjemput? Adakah kita siap ketika kain kafan akan membungkus tubuh kita? Adakah kita siap ketika tubuh kita akan diturunkan ke liang lahat? Ketika papan-papan menutup jasad, ketika gumpalan tanah menimbun, apakah kita siap? Ingatlah kita pasti mati. Kita pasti berpisah dengan ibu bapak kita. Merekakah yang akan berpulang lebih dulu? Ataukah malah kita yang mendahului mereka? Kita pasti berpisah dengan istri dan anak-anak. Betapapun kita teramat sayang kepada mereka, Allah pasti membuat kematian yang akan mengakhiri segalanya.

“Kullu nafsin dzaa iqatul maut,” [QS. Ali Imran (3) ; 19) demikian Allah Azza wa Jalla menegaskan. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati! Dan sakaratul maut itu sakit sekali, kambing saja yang tidak mempunyai dosa apapun, ketika disembelih, Allah memperlihatkan kepada kita, betapa sulitnya ia meregang nyawa. Ayam adalah mahluk Allah yang selalu bertasbih, dan karena itu ia bersih dari dosa. Tetapi, ketika disembelih betapa ia menggelepar-gelepar tanda teramat sakitnya melepas nyawa.

Sahabat,

Kita pun demikian halnya. Semakin busuk diri kita ketika hidup, mungkin saat-saat tercerabutnya nyawa dari badan akan merupakan saat-saat yang teramat pahit dan menderita. Tubuh ini laksana dibelit kawat berduri yang menghunjam ke setiap bagian otot, kemudian ditarik, sehingga tercabik-cabik dan tercerabut dari tulang.

Kita pasti akan meninggalkan segala yang apa kita cintai. Hanya kain kafan yang menemani. Mungkin saat-saat kita meninggal, orang-orang menangis, tapi mungkin juga sebaliknya, menertawakan. Jasad yang terbujur kaku pun dengan tanpa daya diusung orang menuju liang kubur. Ya, disanalah rumah terakhir kita. Tidak ada yang kita bawa. Kita akan dibaringkan menghadap kiblat. Kain kafan dibuka sedikit pada wajah kita agar menyentuh tanah. Papan-papan pun akan mempersempit ruang lahat. Kemudian, pelan-pelan tanah akan menutup dang menghimpit, hingga tak ada sedikit pun ruang yang tersisa. Mungkin yang akan menimbunkan tanah itu justru orang-orang yang paling kita cintai.

Semakin lama semakin gelap dan pekat. Kita tak lagi mempunyai teman, selain amal baik. Harta, pangkat, jabatan, yang mati-matian kita cari sampai tidak ingat shalat, tidak ingat shaum, tidak ingat zakat. Semuanya tidak ada yang mampu menolong kita. Bahkan mungkin tumpukan harta yang kita tinggalkan malah memperberat kita karena dipakai maksiat oleh anak dan keturunan kita.

Sahabat,

Saat itulah kita akan mempertanggungjawabkan segala apa yang pernah diperbuat di dunia. “Hai dungu,” demikian mungkin kita disergah. “Mengapa engkau begitu zhalim kepada dirimu sendiri? Kepalamu tidak pernah kau gunakan untuk bersujud. Yang melingkar-lingkar dalam otakmu hanya urusan dunia belaka. Padahal ternyata semua itu tidak bisa kau bawa. Tanganmu berlumur aniaya, sedang berderma menolong sesama tidak pernah ada. Matamu bergelimang maksiat, sedang Al-Qur’an tidak pernah kau singkap dan kau lihat. Di telingamu hanya berdenging musik sia-sia dan kata-kata penuh maksiat, sedang kebenaran tak sedikit pun kau simak meski sesaat. Kenapa keningmu hanya kau dongakkan penuh keangkuhan, tetapi tidak sekalipun kau letakkan di atas sajadah kepasrahan?”

Mungkin saat itulah kita melolong-lolong menjerit penuh penyesalan. Ketika itulah akan kita rasakan gemeretaknya tulang-belulang di sekujur tubuh hancur luluh dihimpit oleh kubur yang teramat benci kepada jasad yang sarat bergelimang dosa.


Sahabat,

Ketahuilah bahwa kematian itu pasti, dan siksa kubur pun pasti bagi orang yang tidak mempersiapkan diri.

Esai Ringan; Bila airmata bersajak : Apakah ini sebuah “keputusan”


lukisan diunduh dari google

rumput selalu hijau sepanjang masa
kuda yang terlepas di sabana
tak lagi terpasang pelana dan sangurdi
4 musim dingin telah kita lewati
air tetap mengalir di sungai
namun
mata air di sumur halaman rumah kita
masih juga tetap kering
saat pendatang merampok segalanya
meninggalkan kisah penghianatan
yang tertulis abadi diatas batu batu
meninggalkan genangan air di sudut mata
kelu lidah berucap selamat tinggal
kaki melangkah membawa kepedihan hati
luka hati yang dalam
jangan lagi kita bertemu
bila tak ada keiklasan hati dalam dirimu
biarlah langit menutup pintu selamanya

Resa Pundarika - 31 Desember 2009


“ Puisi itu misteri yang menyelingkupi suatu bahasa rasa yang ingin diletupkan penyair dengan mengunakan simbol-simbol bahasa dan atau dengan cara perekatan-perekatan diksi yang unik agar makna tidak secara langsung keluar dari tubuh bahasa puisi itu sendiri” (lifespirit 2010)

Untuk itu agar pembaca/penghayat lebih bisa menikmati suatu karya dalam usahanya memaknai karya puisi/sajak yang dibacanya, dan atau sekiranya pembaca merasa awam ( kurang akrab) dengan dunia puisi/sajak, pertama kali yang harus dilakukan penikmat baca adalah melepaskan diri dari bayang-bayang keinginan penyair akan pesan makna yang melekat pada batang tubuh puisi/sajak. Kasarnya, jangan paksa diri untuk berfikir dalam memaknai puisi harus sama persis seperti apa yang diinginkan penyair. Tapi biarkan sinyal-sinyal simbolik poetika menerjemahkan dirinya sendiri sesuai dengan daya kemampuan masingmasing penghayat menangkap sinyal tadi. Bilamana penghayat dan atau penikmat baca masih juga mengalami kesulitan untuk memungut makna, pembaca bisa memakai pendekatan-pendekatan semisal parafrasa ( penguraian kembali suatu teks (karangan) dll bentuk (susunan kata-kata) yang lain, dengan maksud untuk dapat menjelaskan makna yang tersembunyi). Dan bisa juga kalau mau sedikit berpayah-payah pembaca melakukan pendekatan dengan cara menelaah akan sifat dan makna diksi/kalimat/kata ( yang dalam bahasa kerennya disebut semantic ) serta kaitannya diksi/kalimat baik secara makna denotasi (makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa, seperti orang, benda, tempat, sifat, proses, kegiatan ), maupun secara makna konotasi (makna (nilai rasa) yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dan pengalaman pribadi ) .

Dengan sedikit tip sederhana di atas bagaimana cara pembaca agar bisa menikmati karya puisi/sajak, agar nantinya dapat membuka simpul-simpul pikiran kekinian yang bisa di petik manfaatnya, ada baiknya tip sederhana tadi kita coba praktekkan untuk mengupas makna yang tersirat pun tersurat dari karya puisi indah sahabat taman persajakan “Resa Pundarika” yang saya tampilkan diawal tulisan yang dia tulis dengan gaya tuang sastra puisi china klasik ( salah satu kekuatan sastra puisi china klasik adalah menuangkan rasa piker aku lirik ke dalam symbol-simbol alam,musim, dan benda-benda yang dekat dengan keseharian, ect ).

Sekali lagi saya tegaskan di sini, menerjemahkan sunyi pada sajak atau puisi, terlebih dulu kita harus menyelam secara total pada ruh bahasa sajak atau puisi yang ingin kita telisik segala pesan yang ada di dalamnya. Melebur tanpa sarat, dengan cara memberi kebebasan imaji rasa dan baca sebagai penghayat dalam upayanya menangkap sinyal-sinyal bahasa yang tetuang secara tekstual pada puisi atau sajak. Dan yang paling penting bagaimana penghayat rela melepas bayang-bayang penyair agar nantinya semua kekuatan rasa dan imaji penghayat bisa jujur dalam mengumpulkan pecahan-pecahan makna yang tersembunyi sebagai suatu misteri bahasa syimbol dalam sajak/puisi. Dalam arti kata harus rela berbenturan dengan benda-benda bahasa atau symbol-symbol bahasa yang senatiasa berayun kesana-kemari untuk mencari pemaknaannya sendiri.

Hidup adalah kesunyian, kesunyian itu bagian dari kehidupan, kehidupan yang menjadikan kita men-sunyi-kan rasa dan indera-indera yang melekat pada diri dalam suatu perenungan-perenungan untuk pencapaian tahapan hidup. Dan tentunya tahapan hidup yang nantinya bisa mencerahkan artihidup itu sendiri.

Dan kesunyian seperti itu saya rasakan pada sajak suasana hati “ Apakah ini sebuah”keputusan” karya apik Resa Pundarika, yang berhasil menghisap indera baca dan rasa saya selaku penghayat.

Hidup bukan suatu pilihan, dalam arti, kenapa kita bisa hidup di dunia ini dari rahim si A, si B, si C dsb, kecuali atas KehendakNya. Baru setelah kita ada, akan dihadapkan dengan yang namanya kehidupan, dan kehidupan itulah suatu keputusan!.

Tidak ada sesuatu apapun di dunia ini yang tidak ingin hidupnya bahagia. Namun dalam kehidupan ini, semua insan juga akan senantiasa dihadapkan dengan yang namanya kesedihan. Dan memang begitu adanya Allah dalam menguji sebagaimana besar kesabaran serta ketawakalan umatnya dalam menyikapi daya tarik bahagia dan sedih tersebut.

Kehidupan adalah suatu proses, dan kita semua dalam kehidupan ini akan melalui proses tersebut. Seperti halnya apa yang digambarkan penyair Resa Pundarika melalui bahasa-bahasa symbol metaphor, menterjemahkan kebimbangan, realita, dan harapan, yang harus dia hadapi. Penggambaran asa yang tak akan pernah sirna, suatu pengharapan keutuhan yang abadi ( bisa cinta kasih, bahtera rumah tangga, dsb), yang tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu hal yang selama ini begitu tenang/normal, lepas dari sendi kehidupannya, yang sontak membuat diri seakan tidak mempunyai pegangan dan pinjakan hidup. Ibarat berlabuh di samudra luas yang tadinya tenang, tiba-tiba datang gelombang dengan secara tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda cuaca sebelumnya “//kuda yang terlepas di sabana/tak lagi terpasang pelana dan sangurdi//”, pilihan “kuda”,”pelana”,”sangurdi”, menurut saya adalah metaphor yang tepat untuk menggambarkan suasana tersebut. “kuda” yang bisa kita makna sebagai pengganti orang kedua, atau bisa kita makna sebagai bagian yang utuh dalam diri penyair, di kolaborasikan dengan “pelana” yang mempunyai arti harafiah tempat untuk duduk, dan “sangurdi” yang mempunyai arti harafiah tempat menginjakkan kaki yang terbuat dari besi. Sontak menghisap imaji penghayat pada suatu keadaan yang begitu menyentuh perasaan. Perasaan yang dibawa symbol penyair melalui “sangurdi”, yang biasanya dalam menjalani keseharian dia bisa berpijak pada “ sangurdi” yang begitu kuat karena terbuat dari besi, tiba-tiba “sangurdi itu tiada. Namun begitu, kesakitan-kesakitan bahasa dalam sajak ini ( samsara bahasa ), coba ditepis penyair melalui baris “//4 musim dingin telah kita lewati/air tetap mengalir di sungai//”, pengambaran “4 musim dingin telah kita lewati”, menandakan, betapa sudah 4 tahun berjalan dia mencoba dalam kesabaran cinta, walau terasa senyap, kesenyapan yang diperlambangkan dengan musim dingin. Namun dia tetap yakin adanya hidup “air” yang akan senatiasa mengalir pada detak-detak kehidupan “ tetap mengalir di sungai”, dan sudah seharusnya sabar,iklas dan tawakal dalam menjalani realita yang ada,

“rumput selalu hijau sepanjang masa
kuda yang terlepas di sabana
tak lagi terpasang pelana dan sangurdi
4 musim dingin telah kita lewatiair tetap mengalir di sungai”


Betapa suatu keadaan yang dilematik, telah digambarkan dengan baik di larik ini. Larik yang menyedot imaji penghayat untuk terus menjelajahi larik-larik selanjutnya, kenapa bisa terjadi seperti itu?

Telah lama kita mendengar adanya teori sebab akibat. Pun begitu dalam kehidupan, apapun itu, hukum sebab akibat akan selalu menyerta. Dalam arti, aku begini karena begitu, aku begitu karena begini, dsb.

Seperti itulah yang digambarkan penyair melalui bahasa-bahasa symbol/metaphor pada larik-larik sajak di bawah ini,:

“namun
mata air di sumur halaman rumah kita
masih juga tetap kering
saat pendatang merampok segalanya
meninggalkan kisah penghianatan
yang tertulis abadi diatas batu batu
meninggalkan genangan air di sudut mata”


Suatu rasa gundah dalam ketidak pastian yang muncul akibat adanya pihak ketiga, yang mengoyak-ngoyak keyakinannya akan hidup yang tenang dan damai, seperti yang disiratkan pada baris “air tetap mengalir di sungai”, yang tiba-tiba karena suatu keadaan , menggugurkan arti kesetiaan itu sendiri, digambarkan dengan jelas “//saat pendatang merampok segalanya/meninggalkan kisah penghianatan//, “ pendatang” bukan “pendatang-pendatang” bisa saya maknai tunggal, sebagai orang ketiga yang menyebabkan sayatan-sayatan luka, dan “meninggalkan kisah penghianatan”, mengacu kata “kisah”, sepertinya penyair di sini ingin menceritakan suatu keadaan yang di dalamnya ada individu-individu lain, selain dirinya, dan orang ketiga tersebut ( bisa sahabat, adik kakak, ayah ibu, anak, dan siapa saja ) yang sengaja dijadikan artefak bahasa ( benda-benda atau symbol-simbol bahasa yang menunjukan kecakapan manusia melalui penggalian-penggalian piker ) yang disembunyikan.

Dan betapa luka sayatan tersebut, pastinya akan sangat sulit untuk dilupakan;”// yang tertulis abadi di atas batu batu//meninggalkan genangan air di sudut mata//”, “batu-batu” suatu metaphor yang tepat untuk untuk mewakili “banyak hati” bila kita tarik benang merah dengan “kisah”, dalam hal ini penyair memilih “batu” dan di tulis “batu-batu” sebagai metaphor hati,( banyak hati), berkaitan dengan sifat batu yang keras bila di pakai menulis ( membutuhkan alat yang tentunya juga tajam dan keras), dan tulisan tertoreh pada “batu” akan sulit untuk dihapus.

Dramatikal sunyi benar-benar telah berhasil di visualisasikan pada larik-larik sajak berakar sastra china klasik ; dengan seting alam,musim, dan benda-benda yang menjadi ciri khas indahnya sastra china klasik. Pencitraan melalui symbol-simbol bahasa alam tersebut berhasil dieksplore dengan baik pada sajak Resa Pundarika “ Apakah Ini Sebuah “Keputusan” “, Dan Resa Pundarika secara manusiawi menutupnya dengan larik-larik yang membuat hati bergetar, :

“kelu lidah berucap selamat tinggal
kaki melangkah membawa kepedihan hati
luka hati yang dalam
jangan lagi kita bertemu
bila tak ada keiklasan hati dalam dirimu
biarlah langit menutup pintu selamanya”


Kesunyian hati yang begitu menyayat yang datangnya dari sulingan cinta, yang mengajak mengucapkan “selamat tinggal” karena ketidak berdayaan. Luka yang begitu dalam, luka yang mengiris airmata cinta, yang menghantar jiwanya pergi membawa luka, jiwanya bukan wadaq raganya, karena sejatinya dia masih berharap bisa menjaga sisa-sisa cinta yang berserak di puing-puing cinta ; “//jangan lagi kita bertemu/bila tak ada keiklasan hati dalam dirimu//”, dan disebagian padang sabana, hati kecilnya mengabadikan bait-bait doa : Ya Allah, bila ini takdirku dan dia memang kau peruntukkan untukku, dekatkanlah. Namun bila dia memang sudah tak lagi bisa menjadi bagian hidupku, berilah kami petunjuk dan kekuatan untuk mengakhirnya”

Salam lifespirit!

______________________________________________________________________________
@ Imron Tohari, lifespirit 2 March 2010, esai “Apakah ini sebuah “keputusan” – karya Resa Pundarika.