Malam yang Lupa




semua sumber foto dari google

Malam yang Lupa

setiap malam pergantian tahun
orang-orang sibuk menenteng sekotak harapan
di tempat hiburan, mereka bilang kebebasan
di ceruk batin ketakutan bilang Tun!

setiap malam pergantian tahun
kanvas langit penuh sorak
tapi kenapa mata terbuka tiada jua melihatMu
pikiran menalar namun tiada batas ujung akhirnya

setiap malam pergantian tahun
di atas langit biar saat itu purnama penuh sepotong
sinarnya hanya terangi sebagian malam
bahkan bila mentari menggantikan rembulan penuh,pun
sinarnya hanya menyinari sebagian belah bumi
masih patutkah tuk menyombong di hadapanMU
sedang di kebun jiwa mata hanya sebatas apa yang
tertangkap di hadapannya, tak lebih.

___________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit 1 January 2011

tun ; tuan

Membaca buku “HARMONIKA LELAKI SEPI” Sekumpulan Puisi karya Andi Wirambara




Membaca buku “HARMONIKA LELAKI SEPI” Sekumpulan Puisi karya Andi Wirambara

Judul Buku : Harmonika Lelaki Sepi
Genre : Puisi
Copyright : Andi Muhammad Era Wirambara
Cetakan pertama : Oktober 2010
Penyunting Anindra Saraswati
Proof Reader : Irwan Bajang
Desain Sampul : Leo Baskoro
Tata Letak : Indie Book Corner Team Work
Endorsmen : Khrisna Pabicara, Pringadi AS, Nanang Suryadi
ISBN : 978602-97441-3-2
Tebal buku : 94 halaman
Harga : Rp. 30.000,-


“Cinta dan iman bersemi dan tumbuh dari proses spiritual yang sedikit mengandalkan kemampuan indrawi ( Helen Keller ).

“Menjadi manusia seutuhnya mahal harganya sehingga hanya sedikit orang yang memiliki cinta dan keberanian untuk membelinya. Seseorang harus melepaskan hasrat untuk mencari rasa aman dan harus menghadapi resiko hidup dengan kedua belah tangannya. Seseorang harus memeluk kehidupan seperti memeluk seorang kekasih”. (Morris West - Novelis).

Andi Wirambara penulis belia kelahiran 24 September 1991, mewakili perasaannya sebagai sosok lelaki muda dalam menyikapi rindu dan cinta, saya rasa cukup dewasa dan bijak dalam meletupkan pemikiran-pemikirannya pada medium sajak,puisi.

Melalui larik-larik sunyi “ Harmonika Lelaki Sepi”, Andi Wirambara yang lebih dikenal sebagai Ikan Biroe di dunia virtual, ingin menyampaikan tentang hasil renungannya dalam merasakan serta memandang rindu, cinta, dengan segala pernak-pernik kehidupan

Rasa rindu yang membuncah, dan rasa cinta yang bergelora, pada dasarnya tiada beda antara perasaan lelaki dan wanita: samasama memanggil sunyi!. Jadi siapa bilang lelaki yang dibekap rindu dan didera cinta tidak bisa sentimentil?. Saya yakin semua orang pasti pernah merasakan rindu,merasakan pergolakan cinta yang tak berkesudah yang membawanya menyusuri labirinlabirin sunyi, yang pada akhirya entah ia (mereka) menemukan suatu sugest positip atau justru akan kian terjerat dalam lingkaran labirin tersebut.

Bermuasal dari rindu dan rasa sunyi inilah terbersit di imaji piker penyair tentang “lelaki” yang mewakili aku lirik, dan “Harmonika” yang mewakili geletar irama jiwa dalam hisapan sunyi. Ya, harmonika sebuah alat musik yang paling mudah dimainkan hanya tinggal meniup dan menghisapnya, namun justru dari “tiup” dan “hisap” yang berkaitan dengan nafas inilah kesan pergolakan yang tengah berkecamuk amuk dalam jiwa akibat hisapan sunyi sangat terwakili. Sejarah harmonika berasal dari alat musik tradisional China yang bernama 'Sheng' yang telah digunakan kira-kira 5000 tahun yang lalu sejak kekaisaran Nyu-kwa. Dan biasanya alat tiup ini sering dipakai remaja yang lagi rindu kekasih,kampong halaman,patah hati,atau mencoba membebaskan tekanan perasaan agar tetap kuat dalam menjalani kehidupan berikutnya.

Perjalanan sunyi aku lirik dalam “Harmonika Lelaki Sepi” dibuka dengan puisi romantic humanis yang begitu indah dan disajikan dengan gaya sampaian yang begitu membumi, yang justru kian membuat puisi ini terasa lebih manusiawi, baca kutipan bait 1 puisi bertajuk “Sesendok Saja” yang membungkus rasa rindu dan kesetiaan, di halaman 1,:

“Sesendok saja aku ingin menyuapimu
Ingin melihat peram matamu, melihat
Bagaimana parfait lumer dan pernik
Cokelat terjepit di merah bibir cerimu
Pada pucuk muffin yang kusentil dan
Terbang hinggap di jendela
Seperti kakaktua yang begitu setia
Pada nenek bergigi dua
Seperti segala rasa yang bersepakat
Sewaktu-waktu bermelankolia”

Dan pada halaman 29, Andi Wirambara, masih dengan tema rindu kekasih, pada puisi “Apel” begitu piawai menyembunyikan gejolak perasaan rindunya melalui simbolik poetika ( metaphor/bahasa symbol ), namun tetap mudah untuk dicerna oleh yang dituju tanpa kehilangan unsur puitisnya.

Apel

entah rindu apa kau punya
hingga kau bawa aku pada
wangi embun yang sejuk dan
ranum?

betapapun senyummu kuingat pada
kabutkabut tipis tatkala embun berlahan
turun dan singgah
anggun dikulit yang basah

sebagaimana aku terkenang
sayupmu di antara dahan pohon yang tenang

dan aku, menanti
kau temui pun lembut kau petik
apel yang kugelantungkan bersama sebalas
rindu, apel wewangi rindu.

Dari dua karya Andi Wirambara yang saya kutipkan sebagian, dan yang satunya saya kutipkan secara penuh tersebut, walau pilihan diksi terkesan sederhana, namun betapa detak kejujuran penyairnya bisa kita rasakan, dan hal inilah yang membuat karya ini mampu menarik imaji penikmat baca kedalam roh penjiwaan karya termaksud. Kesadaran akan kejujuran ini pula yang membawa D. Zawawi Imron tegas mengatakan : “ Sebuah sajak yang saya tulis tanpa kejujuran hati nurani tak akan pernah mengarungi perjalanan waktu sehingga tak akan punya nilai abadi.” (Sastra Pencerahan ; halaman 129-130).

Pada buku “Harmonika Lelaki Sepi” yang terdiri dari 91 puisi dengan penomoran puisi secara garis lurus tanpa pengelompokan tema dan atau pemisahan bab, sepertinya penyair di sini ingin melepaskan perasaannya secara umum dan bebas tanpa ada pembagian rom-rom tema. Dan hal tersebut bisa kita lihat tiadanya tanggal,bulan,tahun penciptaan pada semua puisinya yang ada di buku ini, padahal kalau boleh saya bilang histori waktu dan tanggal pembuatankarya sangatlah penting bagi pembaca untuk lebih bisa mendekati tentang apa dan bagaimana kondisi phsycologi penyair dan pengaruh lingkungan eksternal pada saat karya puisi/sajak itu dibuat. Tiadanya jejak histori penciptaan puisi pada buku kumpulan “ Harmonika Lelaki Sepi “, seakan penyair hanya ingin mengajak pembaca masuk kedalam ritus lahirnya puisi/sajak secara general/umum. Dan perihal proses/ritus penciptaan dan atau kelahiran puisi, Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur. Sedang Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara teratur).sedangkan pemikiran saya sendiri, seperti yang sering saya tulis pada setiap esai yang saya buat, saya lebih suka menyebut ritus “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa hati,pikiran ( samsara bahasa ) dari masing-masing pribadi/individu pengkarya cipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Di mana muatan emosi “puisi” sangat beragam, ada suka ada duka, ada kegembiraan ada kemarahan. Puisi sebagai permainan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait dalam menyampaikan pesan gejolak rasa jiwa dari penulis/penyair, yang merupakan hasil dari saripati sunyi ( baca: perenungan! ).

Kenapa saya lebih senang menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa atau samsara bahasa?

Samsara sebagai kata sifat mempunyai arti sengsara ( berdasarkan kamus bahasa Indonesia ),samsara berdasarkan yang termaktub pada surat Bagavad-gita (Budha)dan Weda ( Hindu ) samsara berarti kelahiran kembali/reinkarnasi, namun dalam kelahiran kembalipun (samsara ) , yang merupakan perpindahan jiwa ini dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau disebut reinkarnasi eksternal (samsara atau samsriti didalam bahasa sansekerta). Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) 5.11.5-7 menyebutkan bahwa pikiran terikat oleh indera kesenangan, saleh atau tidak saleh. Kemudian hal itu tertuju pada tiga model dari alam material dan menyebabkan penyesuaian kelahiran dalam berbagai tipe tubuh, lebih tinggi atau lebih rendah. Oleh karena itu, jiwa menderita ketidak bahagiaan atau menikmati kebahagiaan karena pikiran,kemudian pikiran di bawah pengaruh ilusi menciptakan aktivitas-aktivitas yang saleh dan aktivitas-aktivitas yang tidak saleh, ( berdasarkan ajaran agama Budha ) dan pengertian akan samsara ini juga tidak jauh beda dengan apa yang ada pada ajaran agama Hindu ; di dalam Weda disebutkan bahwa "Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Dan juga akan dipengaruhi akan adanya karma baik dan buruk disaat-saat sebelumnya.Dari sudut pandang saya selaku orang Islam, yaitu kelahiran kembali dari kematian di akhirat kelak,dengan segala pertimbangan baik buruknya semasa kehidupan di dunia.

Begitu hal dalam setiap proses penciptaan puisi, dalam kesunyiannya pasti akan terjadi suatu pertarungan batin dan atau pertarungan piker pada diri pengkarya cipta ( pertarungan sinergi positip dan sinergis negatip). Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkaryacipta. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Dari berbagai pendapat proses kelahiran sebuah puisi tadi, pembaca akan bisa merasakan pergulatan sunyi penyair Andi Wirambara tidak berhenti sampai pada karya-karya yang saya kutip di atas, karena pada karya-karya selanjutnya, Andi W lebih berani lagi membungkus perasaannya pada permainan simbolik poetika/metaphor, tanpa mesti kehilangan daya hisap serta pesan makna yang ingin dihantarkan kepermukaan. Lihat saja pada puisinya yang bertajuk “Ini Pilu”, “ Bintang Pulang”, Petasan”Dikamarku yang Berantakan”. Dan tentunya pada “Harmonika Lelaki sepi ( hal. 39 – 40 )” yang sekaligus dijadikan tajuk pada buku kumpulan puisi ini. Baca kutipan lengkapnya di bawah :

Harmonika Lelaki Sepi

harmonika
telah lekat ia pada bibir yang
mengatup
menada pada tiang-tiang malam

: pada rerumputan
Embun hendak turun, menyusur sisi ilalang
Yang tajam
Mengiris nadi
Ia nada rerumputan;merunduk

: pada bintang yang bergandengan
rasi bersenandung
mengangguk kepala
meniti
rangkai melodial langit

: pada bulan yang ringkih
menyapa ia,
menyiul sepi bersama sembilu angin
merayap
merayap lirih

sendu,
pada damaiku

( dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi)


Dari sekian puisi yang ada di buku ini, puisi “Malam yang Sempat Hilang”, tepatnya pada bait pertama, membuat saya terperanggah. Kelugasan dan pemilihan symbol-simbol alam untuk menyampaikan maksud, serta keindahan puitisasi bahasa yang dibalut dengan rima, mengingatkan saya dengan puisi/sajak-sajak klasik para penyair cina yang begitu menggeletarkan setiap hati pembacanya.

Bagaimana lelaku angin menyisir lamunku
Tentang sayupmu di dahan pohon yang tenang
Tentang gores angin laut yang lalu
Mengukir namamu pada karang-karang

Kukatakan memang, selalu ada yang kulaku seraya
menyeruput dingin yang menaiki bulu mata. Menjungkat-jungkit
daripadanya, jatuh ke muka pipi yang kaku, dan merayap
naik menyelinap ke bola mata, yang juga menggigil
melompat mencari selimut, di balik kenang yang mengungun
kala tiba aku bertamu pada malam
yang santun menuang bayang-bayang

nexts….

(Fragmen/1/ bait 1dan 2 “Malam yang Sempat Hilang” hal 18 Sekumpulan puisi “Harmonika Lelaki Sepi”)

Sayang kekuatan dan keindahan itu Andi tidak bisa menjaga rimanya pada bait 2 dan selanjutnya, padahal bait awalnya demikian kuat structural poetika bahasanya, yang kalau boleh aku kata, pada bait pertama tidak kalah indah dan kuat dalam bermain metaphor dan atau bahasa-bahasa symbol, juga sampaian pesannya tidak kalah dengan karya-karya sastra puisi china klasik yang patuh pada rima serta kekuatan penyair dalam mengeksplore alam sebagai sarana/symbol menyampaikan perasaan hati.
Mari kita lihat salah satu karya indah salah satu penyair zaman dinasti Wei yang menjadi acuan argumentasi pendapat saya mengenai bait 1 “Malam yang Sempat Hilang” karya Andi W .

Angin musim gugur pilu menderu udara membeku,
Daun rumput gugur melayang embun menjadi salju.
Sekawan wallet pulang angsa terbang ke selatan,
Mengingat kau yang dirantau kalbu dirundung angan.

( bait 1 “Nyanyian Bumi Yan” karya Cao Pi (187-226; Wei )


Sebagai akhir tulisan, saya memandang Andi W dalam kesunyiannya justru telah berhasil menaklukan sunyi seperti yang di tulis pada bait akhir Puisi “ Harmonika Lelaki Sepi “

: ( dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi).


Salam lifespirit!
Pecinta sastra puisi, 7 Desember 2010.

Saat Jiwaku Luruh Menyebut Nama-Mu


foto diunduh dari google

Saat Jiwaku Luruh Menyebut Nama-Mu

Saat langit memerah saga
layuh kenangan legam asmara,rinai
airmata
tanpa nada
embun pagi tiada menyapa
dedaunan
melayuk
meresah
pilu

Sekian purnama nafsu gerogoti lembar hati
di perjamuan asmara
cawan-cawan cinta meretak
lafal-lafal berontak dalam
seribu bahasa bisu

Biar kularung pedih ke hilir sungai
O, Kekasih

________________________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit 6 Desember 2010 rev 8 Maret 2011

Layuh ; lumpuh/sangat lemah/tidak bersinar,sayu
Melayuk ; meliuk ke kiri dan ke kanan

HILANG KATA


FOTO by GOOGLE

HILANG KATA

tak pernah terpikir
setelah pertemuan kesekian
akanmu
entah kemana lagi kucari huruf-
huruf puisi tuk ungkapkan perasaan,aku
ingin bertemu denganmu
berbicara tentang mata seterang kejora
senyum seindah cahaya purnama dan
rambut yang berdesir bagaikan angin utara

ufff.. sepertinya harus kuurungkan

pasti nanti kau kira aku sedang ngegombal
dan lagian, sudah berapa kali kalimatkalimat seksi seperti itu
disetubuhi puisipuisi roman
entahlah, andai aku mesti harus menuliskan puisi
untukmu
bukan kalimatkalimat seperti itu yang ingin kupuisikan

siang ini kembali terulang…
kutatap jarum jam di tangan berdetak
seirama detak jantung
kueja huruf-huruf hati

"tlah kupersiapkan bunga anyelir kesukaanmu
di ruang yang tak tersentuh liarnya angin malam”

ah, kenangan ini membuatku tersenyum
setelah kau seutuhnya kini bersamaku

_________________________________________________

@ Imron Tohari _ lifespirit 27.6.2010,rev.2.12.2010


Ctt kecil :

Bunga anyelir bagi sebagian orang melambangkan kasih sayang dan ketulusan dalam tali persahabatan,

juga perlambang menghormati pasangannya (kekasih, istri,ibu ) dengan sebenar-benarnya rasa kasih.

Rasa yang Menggemuruh Menggeletar


foto by google

Rasa yang Menggemuruh Menggeletar

Pada hati pernah kuberjanji tidak akan meninggalkanmu pergi, untuk itu
sebagian jiwaku masih terpasung;tertinggal dalam cerita yang mengikat jiwajiwa
menyatu dengan segala air mata mengalir ; melaju, lalu rinai seperti tangisan langit
menyentuh benih-benih tanah berharap kembali merekah.

Kini kala aku tak lagi memelukmu, ijinkan jiwamu kuajak membenam ---
direlungrelung hati, saat telingatelinga jiwa saling merunduk mendengar
degupdegup lembut didetakkan air mata doa selayaknya embun bermanja di lembar daun,atau bahkan seperti angin yang memberi pertanda nelayan berlayar hingga pada saat bibirbibir retak saling melumat, akan kukata : Bukan pada embun yang bermanja di selembar daun, bukan pula pada angin yang memberi pertanda nelayan, tapi
larung pedihmu di aluralur sungai keluasan hati, sebelum kau tasbihkan “luka” bagian dari permainan rasa.

Bila belum cukup, kemari, dengarkan desir hangat darah yang berjalan beriring mengairi ladangladang jiwa.

"Tidakkah kau rasa,
air mata berserak,
berharap menyatu"


( lifespirit 2009 )

Air Mata Cinta yang Mencari Ruang Maha


Lukisan diunduh dari google


Air Mata Cinta yang Mencari Ruang Maha


Airmata itu menari-nari mencari ruang Maha layaknya angin yang bertiup, melayuk, membelai dedaun di ruang-ruang jumantara. Dan langit terang jua adanya murai berkicau di pucuk-pucuk cemara, pun entah di mana kicaunya lesap kala kelam menggulat alam, seperti saat tubuh-tubuh tak lagi berpeluk, bibir-bibir tak lagi berkecup, kesendirian mengantar tangisan kekasih. Masihkah burung merak bisa membanggakan bulu-bulu indahnya? Sedang para pemburu terbuai nyanyian perdu peri-peri hutan.

O, jangan pertentangkan lagi kelahiran dan kematian. Seperti halnya keramaian juga keheningan, begitu pula kelahiran dan kematian tak seharusnya merapuhkan asa. Lihat saat anak-anak ayam mulai mencicit, suara cicitnya adalah penghambaan pada induknya untuk selalu memberikan kehangatan. Keheningan itu kehidupan, ulat yang bermetamorfosa pada kepompong, lalu moksa berubah menjadi kupu-kupu, Dan tidak seharusnya tangis seperti batu bisu, karena hanya kesiaan bila tangis hati sebisunya batu ?

Duhai wahai roh jiwaku, dengarkan nyanyian alam, sekalipun hening pada diam, nada masih bersimfoni lahir dari seruni sebuah gubuk di tengah sawah yang lapang.

Dalam langit mendung bahkan di sebalik awan selalu ada sinar menyapa. Lalu mengapa dan bagaimana kamu bisa bilang hanya ingin melihat dari balik langit cerah saja ? Sedangkan denting detik pun bisa menemani dalam detak yang retak.

Duhai wahai roh jiwaku, jika ingin jadi pecinta, kaupun harus siap bercumbu dengan kesakitan-kesakitanmu, seperti Hafiz yang tetap tegar saat jiwa raganya dibakar apicinta, dan tak seorangpun pecinta yang bisa melarikan diri dari gelisah karena cinta, seperti itulah yang diungkapkan Hafiz, jadi jangan tanya pada cinta atas kebenaran cinta, bukankah cinta yang sebenarnya ada di dasar kedalaman lautan hati, dan perlu ribuan mil baginya untuk muncul kepermukaan pada wujudnya yang tak tersentuh, kecuali aksara-aksara tanpa kata menyenandungkannya pada rasa. Dan jikalau itu telah sampai, seperti halnya matahari mencumbui hujan lalu lahir pelangi tujuh rupa, aku pun ingin menyemai benih-benih cinta di ladang Kekasih!.

_____________________________________________

@ lifespirit & DaveSky 11.1.09/rev 30.11.10



ju·man·ta·ra kl n awang-awang; langit; udara

Hafiz : nama lengkapnya Khwajah Hafiz al Sirazi adalah seorang Sufi Penyair yang terkenal dari negeri Iran (1316-1390 M)..

Nyanyian Rindu Di Bawah Pohon YangLiu


lukisan diunduh :http://www.chinahighlights.com/image/travelguide1/culture/chinese-calligraphy/9chinese-painting.jpg

Nyanyian Rindu Di Bawah Pohon Yang Liu

Sulang kata Kwek Li Na & Imron Tohari, 17 Nov 2010
Taiwan – Mataram


disemilir angin dingin yang mengirim gigil.
aku mencoba mengais hangat di antara bara puisi.
segala tentangmu menjadi percik cahaya api
.

sebegitu rindu hati ini
diantara semilir angin desir
suara-suara daun bambu bergesek
memuisikan setangkup bayang wajahmu
o,gemerisik daun bambu mengingatkanku
tentang sebatang pohon Yang Liu yang katamu
setia menanti angin utara datang membawa kabar
tentang kekasih, dan kekasih itu : aku

di bawah Yang Liu, aku dalam diam
menatap ke ujung samudera
mencoba menghitung purnama
kekasih di cinta berkelana
kini tak tahu di mana?

sehari sebuah puisi
ribuan lembar sudah jadi
pertanda waktu seperti kedipan mata
masa muda berlalu, uban memenuhi kepala

rindu dan harapan saling mencumbu
berharap merak, jalak, camar, phoenix, bio mau berbaik hati
membawa kabar darimu
yang selalu kurindu


berdiri di alam bebas
mengingatmu semakin diri tertelan sepi
beribu malam tlah terlewat
impian indah senantiasa menyisakan kenang
mengayuh sampan di ombak rindu
kenapa mesti sampan hati bergoyang?

rindu dan harapan itu niscaya
seperti kala memelukmu di bawah pohon Yang Liu
dan mendengar tawamu mendetak-detakkan jantungku
lalu mestikah rindu itu kini cemas mengendap?

memandang air
melihat angkasa
meratap takdir
kenapa mempermainkan manusia?

dua jiwa saling mencinta
karena kemiskinan mesti berpisah raga
dunia, kenapa dua keinginan tak mungkin dalam satu sampan
merantau kau jadikan pilihan, jalan rindu kita jadikan titian

angin jangan berhenti
tiuplah hati kami sampai bertemu lagi
nasib jangan berkelakar
satukan cinta kami sebelum fajar


menatap langit
aku hisap udara nan semilir dalamdalam
cinta kasih kehidupan adalah jalan rindu
bersatu atau terpisah jarak, tidak semestinya
tabib cinta yang ada dalam diri patah hati
sedang tujuh pintu langit kebaikan di dalam atma
mestikah kita masih menyalahkan takdir?

kasih, di lautan rindu hati ini
biar kenangan indah menjadi gunung doadoa
dan tak semestinya kita sesali rambut putih
yang memuisikan nestapa.

tatkala malam
tak paham
bagaimana hati memendam rindu
sunyi mengantar getir yang pilu

seperti musim datang dan pergi
di atas puisi kutulis beberapa baris airmata
kupetik kecapi
lewat samudera kuhantar getar asmara

_____________________________________________
@ Kwek Li Na & lifespirit _ 17 November 2010

Ada yang Tak Kupahami


foto pendukung diunduh : http://3.bp.blogspot.com/_86gWeX2wqWI/StAIvPSExuI/


Ada yang Tak Kupahami


Ada laut berdebur
Mengombak
Ada tanah gemetar
Menyayat
Ada gunung bledug
Lahar leleh

Di kotak pandora
Beribu mulut jadi sair
Isyarat alam berlembarlembar
Kalam tersilau menetak

Ada sesuatu yang tak jua kumengerti
Di penampungan
Setetes air menjadi syair
Detak jantung mencari alif
Isak yang gerimis
Sujud
Menata rakaat mencari khusuk

Tapi masih juga tak bisa kupahami

Di dalam taman hati ini, aku malu pada-MU
Indah bunga membuat aku lupa,
hakikat duri di batangnya.

_____________________________________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit 13 Nov 2010 ( kutoreh penanda dari isyaratMu, 26 0ctober 2010 )

bledug (jawa): meletus
sa•ir Ar n 1 api neraka; 2 neraka
sya•ir n Sas 1. puisi lama yg tiap-tiap bait terdiri atas empat larik (baris) yg berakhir dng bunyi yg sama; 2. sajak; puisi; 3. Bahasa indah yang mengandung ajakan kebajikan.
Bledug(jawa) ; meletus
Me.ne.tak : 1. memotong dsb dengan barang yang tajam yang dipukulkan keras-keras; membacok 2. menentukan; memastikan; menetapkan

Pada yang Mana Bisa Menghindar


visual diunduh :http://irfan6undar.files.wordpress.com/2007/09


Pada yang Mana Bisa Menghindar

diantara detak nafas
usia seperti arus air
berjalan tergesa-gesa menuju muara

dan pusaran air itu ketakutanku yang bertanya
: katakan pada-ku
di mana hari bisa kuhindar
saat panah melesat menancap jantung
darah berhenti mengalir
mengkristal
melengguh
mendesah
hingga pada akhir dengup, bisu
purnama tenggelam di labirin jiwa
menyertakan penyesalan amal buruk kehidupan

dan ketakutan halnya penghambaan ruh
kapilah yang menjerit-jerit
mengetuk pintu-pintu langit

_______________________________________________

@ Imron Tohari _ lifespirit, 11.12.09/rev. 12.11.10

NYANYIAN KEMABUKANKU


lukisan diunduh :http://1.bp.blogspot.com/_1OGelnB-kU0/SHR5JZZtwxI/

NYANYIAN KEMABUKANKU
:Rama Prabu



tlah kucecap tetes terakhir anggur sisa semalam
katamu kau suling dari ikal rambutmu
yang menguar wewangi kasturi,dan
tetes beningnya serupa nagam dari detakdetak rindu

jika dalam beribu bahasa bisu kau kata
kebosanan tlah merenggut nyanyi kemabukanku
lalu siapakah yang menerobos kabut
mengayuh sampan di hulu sungai di riam matamu

bila malam ini, seperti halnya malammalam yang sudah
dingin angin menemaniku menatap purnama
alam dengan setia memberi isyarat

jiwa yang bening menulis di mural jantung
bercerita tentang belibis terbang jauh mencari cahaya

_________________________________________________________________

@ Imron Tohari _ lifespirit 9 November 2010


Nb : Sajak ini sengaja saya tulis kusus untuk menyulang sajak indah sahabatku
Rama Prabu “Anggur Sisa Semalam”


1na·gam n karangan (untaian) mutiara 2na·gam keselarasan suara; keharmonisan suara
menguar : mengeluarkan uap (bau dsb)

PEKIK DAN DERU


Foto diunduh : http://2.bp.blogspot.com/__wlmFpzNgHk/TBek-YITpKI/


Foto diunduh : http://www.bloggaul.com/birulangit/pic/birulangit_5182006124440PM_merapi.jpg

PEKIK DAN DERU
:/ sajak bersulang Teja”Kejora”Alhabd dan Imron “lifespirit” Tohari


pada lembar sejarah,
bintang
; leluhur memberi arah berlayar
dan laut itu rahim Ibu,
di sana ikan berloncatan : mencari ijmak

tapi lihat
manakala gununggunung runtuh
menyukat bencana

bukitbukit sujud
keringkan air mata

gelombang laut bergemuruh
petaka meraung-raung
menghempas diri

pekiktangis menderu menyayat rahang jiwa
yang bermula dari kamu atau kita
berakhir setelah berkubur bangkai,
dan kini di rahim ibu
tiada lagi titisan lembar sejarah
kecuali airmata meringkuk, melayuk di balik awan putih
durjana meraja
bersulang mantra memuja kesesatan!

inilah selaksa kata menyatu dalam 7 lapis langit berlapis
maka lihat ada
sesuatu yang tak seimbang
matahari tercabut dari sumbunya
laut menghempas mengalirkan nanah
kelopak bumi merengkah alirkan darah
kau akan menangis dalam hamparan
penyesalan dukalara akhir zaman

"Bacalah!
Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan,
menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah,
dan Tuhanmu Maha Pemurah,
yang mengajarkan dengan Pena.
Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ...” *)

ooo…angin desau
membisik telinga cakrawala
menyusuri empat mata angin niscaya
padapada lembah, gunung, hutan
rinai
manikam serupa riam.

dan kini saat sayapsayap kehidupan mulai patah
tangis hutan,lembah,gunung: bersumpah seranah
tak ada terang pada mata(hari)
jasad-jasad berserak terkubur airmata
deras menderas sangka(kala)
pada tujuh gugus angkasa
pada tujuh quantum lapis bumi

“bibir memintal harap
sedang laku tak berjejak di mihrab

terkoyak! terbelah!

kau muarakan ke mana air mata? “

__________________________________________________________________________________

@ Sulang sajak Mataram – Tangjung Pinang (via email, 30 Maret 2010/rev/8-11-2010 )



Kamus kecil :

*) (Qur'an 96:1-5) manikam; intan ; permata ; benih ; mani

ij·mak n Isl kesesuaian pendapat (kata sepakat) dr para ulama mengenai suatu hal atau peristiwa

1. ri•am n aliran air yg deras di sungai (hampir spt air terjun, tetapi rendah sekali)

2. ri•am n Man hubungan berantai antara berbagai kelompok dl proses produksi, yaitu kelompok yg satu menjadi masukan kelompok yg lain

mih•rab n ruang kecil di langgar atau di masjid, tempat imam berdiri waktu salat berjamaah

de•sau n tiruan bunyi daun-daunan yg tertimpa hujan lebat dsb

TAHAJUD SUNYI ( Dalam dua versi )


gambar http://krisbheda.files.wordpress.com/2010/09/images1.jpg?w=183&h=275

TAHAJUD SUNYI (1)

di jalan rindu panas yang api memanggang resah
purnama luka di sebalik awan mencari bayang kekasih
dari puncak bukit yang bersemayam dilekat jantung
angin bunting menyusuri sungaisungai keinginan
berharap suka cita tanpa luka derita

mengingat kekasih
malam memiliki ruang heningnya sendiri
tapi tujuh pintu di ketinggian langit tidak serta merta terbuka
di sana ada ketinggian roh dalam sunyinya doa
menakar tetesan perih pada rentan retak perigi kejujuran

o,diantara hiruk pikuk pasukan pikiran
jiwa siapa telimpuh di ujung simpul
melafal doa seperti mata pecinta menatap gugur
dedaun memeluk tanah


_______________________________________________
@ Imron Tohari_lifespirit, 7 Oktober 2010



TAHAJUD SUNYI (2)

jalan rindu panas yang api
memanggang resah
purnama luka di sebalik awan
mencari bayang diri
angin bunting menyusuri sungaisungai
keinginan
berharap suka cita tanpa luka derita

diantara hiruk pikuk pasukan pikiran
malam memiliki ruang heningnya sendiri
tapi tujuh pintu langit tidak serta merta terbuka
di sana, ada ketinggian roh dalam sunyinya doa
menakar tetesan perih pada rentan retak-
perigi kejujuran

o,mengingat kekasih
jalan doa beribu jarak bertebaran onak duri


lalu jiwa siapakah itu telimpuh di ujung simpul
melafalkan doa seperti mata pecinta menatap gugur
satu
satu

___________________________________________________
@ Imron Tohari_lifespirit, 7 Oktober 2010, pukul 23.15 Wita

Perempuan Berkerudung Air Mata


lukisan Nani Sakri diunduh dari http://www.tembi.org/cover/2010-02/20100216.htm

Perempuan Berkerudung Air Mata

Adakah kepedihan suatu pilihan?

Tibatiba kau bisikkan sesuatu itu dengan lirih. Dan di bola matamu
ikan yang tadinya bersenda
kini kaku batu. Menatap kearahku

Di dekatmu
perihal yang kau tanyakan itu
bukan mengada aku tetap mengasihimu

Seperti halnya saat ini
kala musim panas menjadikan samudera meluap
kuajak dirimu menatap dian-dian kecil di ruang bahtera
yang nyala apinya kujumput dari gerai hitam rambutmu
atma
yang keluar dari lingkaran labirin

( Di atas bahtera, angin yang pukau, kini desau. Juga
dua bola matamu kian tujah, tuliskan sajaksajak bisu di mural jantung
: Tentang luka,juga
tentang sekaleng susu yang tibatiba terbawa arus air mata, kau ibu anakku )


Degup jantung pun mengeja hurup
setiap kali kudapati kantuk matamu tersenyum tulus
terselip di lipatan-lipatan popok yang habis kau seterika
biar telah lelah terjaga tiap tengah malam
bangun,mengganti popok anakmu

O, jantungku kian debar
di tubir Cinta
kurasakan matahari membakar raga
malam; pisaupisau kematian
membaca sunyi

Dimana ia-nya (kebahagiaan) berada?

tanya yang tak sengaja kubaca dari tatapan matamu
bisu, sebisu-bisunya perasaan yang entah
kemana lalu kau meniadakannya
menggantikan dengan serupa mantra
lembut di telinga anakmu

: Cinta itu api
lidah apinya membakar jiwa juga
derita. Kasih

Jikalau airmata ini mengalir
biar menjadi kunci
membuka pintu langit
dan kedukaan itulah kebahagiaan
manakala dian-dian kecil tetap menyala di ruang bahtera

bisikmu; harapan seorang ibu
tulus

( selepas subuh, sesaat setelah kau tanak sesak nafasmu, sekali lagi kuarungi samudera matamu yang embun. Dan kini di atas bahtera, kala kembali menatap langit, kudapati burumg berkata-kata pada angin, tentang bayi serta seorang perempuan berkerudung airmata yang berlari-lari di terik padang pasir, dari Shafa ke Marwah, tak keluh, mencari mata air kehidupan, juga untuk anaknya, setulus kasih ia-nya persembahkan kerudung airmata, mengetuk pintu langit. Dan perempuan itu, serupa dirimu, istriku, pun ibu yang tiada berbatas dalam mencintai anak-anaknya. Biar luka, biar duka, juga
biar sekaleng susu yang tibatiba terbawa arus air mata )


___________________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit, 21 mei 2010, rev 31 Mei 2010

Kamus kecil :

atma : jiwa; nyawa; (Hin) roh: akhirnya -- Lubdhaka, setelah hari kematiannya, bisa masuk surga
labirin: tempat yg penuh dng jalan dan lorong yg berliku-liku dan simpang siur; sesuatu yg sangat rumit dan berbelit-belit (tt susunan, aturan, dsb)

tubir: tebing (jurang dsb) yg curam; tepi sesuatu yg dalam (spt tepi jurang, tepi kawah, tepi sungai); tempat yg dekat sekali dng tepi sesuatu yg dalam (spt tepi jurang); tempat yg dalam sekali (di laut dsb); ki keadaan yg hampir pd sesuatu yg sangat berbahaya (mati dsb)

Esai : “Detak Bahasa Di Antara Pencipta Dan Apresiator Puisi II”


gambar diunduh http://localhistorycds.com/localhistorycds/images

Esai : “Detak Bahasa Di Antara Pencipta Dan Apresiator Puisi II”


Kemajuan tehnologi komunikasi dewasa ini, diakui atau tidak diakui, telah memberi warna baru bagi tumbuh kembangnya sastra seni, khususnya sastra puisi/syair/sajak.

Benarkah seperti itu?

Saya katakan iya! Bukannya tanpa alasan, lihat saja dengan menjamurnya forum-forum pertemanan ( jejaring social ) di dunia virtual/maya, seperti yang lagi trend dewasa ini, semisal: Yahoo Answer, Friendster, Hi5, FaceBook, dll. Menjadikan para pencinta sastra puisi/syair/sajak, bisa dengan cepat dan mudah mempublis karya-karyanya tanpa harus takut ditolak, yang mana hal tersebut merupakan salah satu momok bagi mereka bilamana karya tersebut dikirim ke media cetak yang tentunya melalui proses seleksi terlebih dahulu.

Namun begitu, bukan berarti karya-karya yang dipublis di dunia virtual/cyber yang tidak melalui proses seleksi ala redaktur ini kualitasnya di bawah karya yang dimuat di media cetak, tapi di sini kita justru dituntut untuk secara obyektif dan bijak, sebelum mengatakan karya cyber itu secara kualitas sesuai dengan kepatutan sastra puisi/sajak.

Tak bisa dipungkiri, penilaian baik buruk suatu karya dimata penikmat baca, antara subjektifitas dan obyektifitas, sangat beda-beda tipis ( kalau tidak boleh dikatakan abu-abu), tergantung dari sudut pandang mana kita/mereka melihat karya sastra puisi/sajak tersebut.

Kian menjamurnya para penyuka sastra puisi di dunia virtual/cyber, dan beragamnya tema maupun pola penuangan ke medium puisi/sajak, yang sebagian besar secara tekstual banyak memakai bahasa-bahasa symbol/metafora, tentunya bagi yang baru saja dan mulai mengakrabi sastra puisi akan kesulitan untuk dirinya mencecap apa dan bagaimana maksud yang ingin disampaikan pencipta karya ( baca: pencipta puisi ), sehingga menimbulkan suatu interprestasi beragam di imaji penikmat baca, dan hal inilah yang merebakkan kembali sebuah tanya tak berkesudahan di pikiran-pikiran penyuka puisi/apresiator puisi, tentang paradigma puisi gelap, di mana hal tersebut pernah pula ramai dibicarakan di era 80-90 an.

Pada era tersebut, beragam pendapat muncul dalam menyikapi adanya istilah puisi gelap. banyak penggiat sastra berpendapat bahwa puisi gelap adalah puisi yang tema dan bait-bait tertulisnya bernuansa kepedihan/keprihatinan yang teramat sangat dan atau puisi yang lebih menitik beratkan pada rasa ketidak puasan penyair akan sesuatu hal yang terjadi pada lingkungan internal maupun eksternal yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi estetika dari nyaman dan tidak nyamannya rasa. Dan trend penyair pada waktu itu dalam mengangkat tema yang gelap/suram amat marak sebagai bentuk protes pada sikap pemerintahan yang dianggap otoriter/atau semau gue, dan juga bentuk kemasgulan penyair akan menurunnya sendi-sendi moral di masyarakat, khususnya di mata komunitas penyair Jawa Timur.

Sebagian penggiat sastra lainnya dalam menyikapi adanya istilah puisi gelap lebih mengkaitkan dengan wujud tekstual bahasa dalam batang tubuh puisi secara keseluruhan yang dengan segala simbolik poetika-nya dianggap telah gagal mengikat diksi terpilih menjadi satu kesatuan alur kalimat bermakna, khususnya yang dibungkus dengan perlambang-perlambang metafora, sehingga penghayat serasa dibenturkan dengan jalan buntu untuk bertamsya di taman makna karya terkait ( baca: pemaknaan yang persis sama dengan apa yang ada dipikiran penyair ).

Agus R. Sarjono pada bukunya yang bertajuk “Sastra dalam Empat Orba, Bentang, 2001 hal. 102. “ mengatakan :

“Istilah Sastra Gelap muncul akibat gagalnya penyair merepresentasikan diri dalam sajak-sajaknya sehingga sajak menjadi “gelap” bagi pembaca”


Benarkah seperti itu; puisi/sajak menjadi “gelap” bagi pembaca karena penyair telah gagal merepresentasikan diri dalam sajak-sajaknya?

Pendapat Agus R. Sarjono di atas tidak sepenuhnya salah, bila kita membacanya dari sudut pandang penyair dianggap telah gagal merepresentasikan diri dalam sajak-sajaknya,sehingga sajak menjadi “gelap” bagi pembaca, bilamana penyair dimaksud dalam hal ini menuntut pembaca harus ( mutlak ) sama persis dalam memaknai, menangkap pesan dan atau menggali artefak bahasa yang menjadi terusan olah imaji rasa penyair, persis sama dengan yang diinginkan penyairnya.

Namun pendapat Agus R Sarjono tadi bisa saja menjadi lemah bilamana hal tersebut dilihat dari sudut pandang penyair atau pencipta puisi dimaksud dalam kapasitasnya sebagai pemilik/pencipta puisi pada akhirnya membebaskan pembaca dan atau penghayat dalam memaknai karyanya tidak mesti harus sama keinginan dengannya selaku penyair, namun membiarkan mereka (penghayat) untuk mengurai makna berdasarkan sinyal-sinyal bahasa yang berhasil dia tanggkap ( tentunya kemampuan masing-masing penghayat dalam hal ini berbeda, karena semua itu tidak terlepas dari latar belakang budaya, pendidikan, pola hidup, kejiwaan, keyakinan, dll,) yang sangat berpengaruh sekali dalam menangkap getar-getar rasa yang dipancarkan dari semiotika puisi, baik dalam kapasitas secara tekstual poetika maupun muatan makna yang tersurat dan atau tersirat pada karya sastra puisi/sajak bersangkutan.

Puisi adalah terjemahan rasa bagi penyairnya, dalam arti dibuat untuk memenuhi kebutuhan rasa akibat adanya letupan-letupan yang ada di dalam imaji piker penyair itu sendiri ( awalnya! ), dan dari paradigma ini, tentunya tidak akan terjadi yang namanya gagal dalam mempresentasikan diri kedalam sajak atau puisi, karena sebenarnya dengan bahasa simbol yang dia tuangkan tersebut, apapun wujudnya, penyair bersangkutan sangat faham kearah mana makna yang ingin dia letupkan untuk memenuhi kebaharuan piker dirinya. Sekali lagi saya tekankan di sini bilamana itu dilihat dari kaca mata hanya untuk dirinya. Nah jika pada akhirnya karya itu di publis, yang tentunya akan dihadapkan dengan interpresentasi penikmat baca/penghayat yang beragam, dan bila penghayat dalam menangkap bahasa-bahasa simbol tersebut tidak sama dengan apa yang ingin diinterpresentasikan penyair, namun ternyata penghayat dalam pembacaannya justru mempunyai pemaknaan baru untuk kebaharuan pikernya dari bahasa-bahasa symbol yang berhasil dia tangkap ( walau berbeda maksud dengan apa yang dirasa penyair pada saat menciptakan puisi dimaksud), dan menurut olah rasa imaji penghayat sinyal-sinyal tadi sesuai dengan apa yang dia rasa pada saat itu ( saat dia mendapatkan getaran makna bahasa yang mengandung semiotika/lambang dan tanda dari karya yang dia baca ), apakah puisi tersebut masih bisa dikatakan gagal?

Saya tertarik dengan pendapat Robert Penn Warren (April 24, 1905 – September 15, 1989) penyair, novelis dan kritikus Amerika yang berpendapat : “Puisi atau sajak itu sebuah mitos kecil tentang kemampuan manusia agar menjadikan hidupnya bermakna. Puisi, pada akhirnya, bukan sesuatu yang kita lihat. Lebih tepat, puisi merupakan cahaya yang membuat kita melihat sesuatu lebih jelas dan sesuatu itu adalah hidup.”

Dari pendapat Robert Penn Warren di atas, saya mengumpamakan “cahaya” pada keseluruhan ruang tubuh puisi adalah “bahasa”, bahasa yang merupakan pemandu alam piker pembaca untuk berkomunikasi dan atau menggali makna puisi/sajak, bahasa yang bisa berupa susunan kosakata atau kalimat-kalimat, symbol-simbol, lambang-lambang, yang merupakan bagian dari artefak bahasa ( benda-benda atau symbol-simbol bahasa yang menunjukan kecakapan manusia melalui penggalian-penggalian piker ). Dan berdasarkan KBBI, “gelap” sama artinya dengan tidak ada cahaya; kelam; tidak terang alias samar. Sedangkan puisi atau sajak mempunyai “cahaya” yaitu “bahasa”, dan puisi atau sajak untuk berkomunikasi dengan pembacanya melalui media bahasa yang saya umpamakan sebagai cahaya tersebut untuk mengurai suatu makna yang tersembunyi pada puisi,. Perihal samar atau terang benderang makna yang berhasil di telisik, bergantung sepenuhnya dari masing masing pembaca, seberapa kuat olah rasa, olah piker, dan olah imaji dalam menangkap cahaya puisi ( baca : bahasa puisi ), yakni puisi yang menjelmakan dirinya pada bahasa sunyi, puisi yang mensamsarakan dirinya pada kesakitan-kesakitan bahasa melalui benda-benda atau symbol-simbol bahasa dalam rangka menemukan pemaknaannya sendiri di ruang piker masing-masing individu dalam mencari kecerahan makna baru yang diyakininya.

Berangkat dari pemikiran tersebut, secara pribadi saya berpendapat, bahwa tiada yang namanya sastra gelap ( dipersempit : puisi/sajak ), Dalam pengertian, timbulnya paradigma gelap terang akan telisik makna suatu karya, bergantung dari masing-masing indifidu penghayat dalam memaknai benda-benda atau symbol-symbol bahasa yang berhasil dia tangkap, serta keberanian penghayat dalam membebaskan diri dari kesakitan-kesakitan bahasa yang ditimbulkan oleh adanya permainan-permainan symbol, yang dalam proses kreatipnya penyair, tentunya telah mempunyai gambaran-gambaran dan atau pemaknaan tersendiri. Intinya, abaikan ketepatan makna apa yang ingin disampaikan penyair melalui symbol-symbol bahasa tadi. Karena ketepatan hanya bisa didapat kalau tahu dengan pasti segala aspek yang melingkupi kehidupan, pola piker, serta sosial budaya yang melatari penyair dalam mencipta puisi.


Saini K.M. dalam endosemennya pada antologi prosa dan puisi Soeria Disastra mengatakan : “dalam membaca karya sastra, kejujuran tertentu diperlukan. Salah satu hambatan untuk mendapatkan manfaat dan nilai sebesar-besarnya dari karya sastra adalah apa yang disebut snobisme. Seorang snob adalah orang yang beranggapan bahwa kemampuan menikmati karya sastra itu adalah suatu gengsi dan hak orang-orang terpelajar. Oleh karena itu, walaupun tidak paham atau tidak suka kepada suatu karya, ia berpura-pura paham atau berpura-pura suka kepada karya itu. Kadang-kadang ia pun mengumbar pendapat dengan mengutip berbagai teori agar memberi kesan bahwa ia terpelajar.” ( Senja di Nusantara:10 ).

Perlu digaris bawahi, yang dimaksud Saini K.M. “…mengumbar pendapat dengan mengutip berbagai teori agar memberi kesan bahwa ia terpelajar.”, mengutip di sini maksudnya adalah mengutip sesuatu teori yang tidak relevan dengan pokok bahasan yang dikaji/dikomentari.

Pernah pada salah satu kesempatan saya mengapresiasi salah satu karya puisi sahabat saya di Y!A ( Yahoo Answer ) katagori persajakan yang berjudul “UNSUR(E)”, secara lengkap saya turunkan di bawah ini :

UNSUR(E)

batang emas
...........emas batang
......air tanah
...........tanah air
-naturoksidogensasi-
+apiapiapiapiapiapia+
oxoxoxoxoxoxoxoxo
= tidak hujan sayang
= bur
= bur
= bur
= bur
= bur
*subur dalam dubur#
HAH
solaring

iruw harden, Jakarta 2619: revisi 1429
(keterangan: titiktitik pada baris 3-5 tidak mempunyai maksud apa2, selain HANYA UNTUK "menggeser" hurufhuruf saja..)


sebuah interpretasi bebas dari fenomena Tahun Baru Imlek 2009 yang "kebetulan" bertepatan dengan kejadian "istimewa" gerhana matahari cincin; sebuah hari yang sangat langka..

@ lifespirit :Resensi karya Iruw Harden "UNSUR(E)"

Menilik dari catatan kaki penyair, dimana karya "UNSUR(E)" ini dimaksudkan sebagai "sebuah interpretasi bebas dari fenomena Tahun Baru Imlek 2009 yang "kebetulan" bertepatan dengan kejadian "istimewa" gerhana matahari cincin; sebuah hari yang sangat langka.."

Justru di sini saya selaku penikmat baca tidak mendapatkan/menemukan simbolik-simbolik tersebut yang menceritakan suasana "Imlek" dan fenomena alam " Gerhana matahari cincin ", kecuali mungkin yang sedikit mengarah pada proses fenomena alam ( tapi fenomena alam apa? ), hanyalah pada baris kalimat ini > -naturoksidogensasi-
+apiapiapiapiapiapia+
oxoxoxoxoxoxoxoxo
= tidak hujan sayang
dan itupun akan sulit bagi penikmat baca untuk menghubungkannya dengan fenomena "Gerhana Matahari Cincin" bila mana tidak penyair sebutkan pada catatan kaki!

Dan khusus penggambaran "Imlek", di sini saya rasakan sang penyair juga lemah dalam memvisualisasikannya!

Ok,andaikan sang penyair menyimbolikan pada susunan kosa kata terpilih >
batang emas
...........emas batang
......air tanah
...........tanah air
Saya yakin, bentukan visual image pembaca tidak akan mengarah kesana (andai, sekali lagi tidak penyair ungkapkan pada catatan kaki! ), apalagi bila dikaitkan dengan ketertautan baris dibawahnya, maka saya yakin gambaran Imlek tidak akan ada di bidang pikir audiens!
Saya pun jujur baru bisa mengaitkan dengan Imlek setelah membaca catatan kakinya, dimana baris kalimat tersebut, mewakili harapan / berkah kesuburan,kekayaan dan atau murah rejeki dan atau kebahagian yang menjadi makna dari Imlek itu sendiri!

Sekali lagi, bila karya ini dimaksudkan sebagai interprestasi Imlek maupun gerhana matahari cincin, saya merasakan sangat lemah kearahitu pesan tersirat pada karya ini, apa lagi kalau kita baca dalam satu kesatuan alur cerita yang utuh!

Btw, bentuk dan rangkaian tertuang dalam suatu karya, termasuk karya ini, sepenuhnya menjadi hak milik secara fisik bagi sang penyair!

Namun, begitu karya ini di posting ke publik, maka audiens dan atau penikmat baca mempunyai hak milik pada makna yang ada pada karya bersangkutan. Mengacu pada hal ini, maka ijinkan saya selaku penikmat baca untuk mengambil hak makna saya pada karya brelian Iruw Harden "UNSUR(E)", dengan interprestasi makna dari sudut pandang saya selaku penikmat! ( tentunya interprestasi saya ini, antara subyektif dan obyektif sangat sulit untuk dipisahkan! ).

Ok, sekarang mari kita telaah, urai makna karya ini dari presepsi saya selaku penikmat baca :

Pada puisi kontemporer ini, sang penyair sangat cerdik dalam memilih kosa kata sehingga membentuk suatu makna ganda dalam setiap ketertautan antar baris atas dan bawahnya. terutama pada baris-baris ini ;
........air tanah
.............tanah air
bathang emas
.............emas bathang
( pada baris-baris ini sang penyair ingin menyampaikan pesan, bahwa negara kita adalah negara yang kaya raya dengan kesuburan tanahnya dan kekayaan alam pertambangannya yang tiada ternilai, ibarat air bula meresap kedalam tanah ( dalam arti kesuburan ) maka kekayaan alam bagaikan batang emas yang berjajar di untain kepulauan nusantara tercinta, namun bila air tak lagi bisa meresap tanah, maka prahara akan melanda tanah-tanah air, dan di sana bukan lagi batang mas dalam arti kemakmuran yang ada, namun mas-mas batang dalam arti hancurnya peradaban dan kerugian materiil,in materiil maupun ribuan jasad yang menjadi batang ( dalam arti ; bangkai! ).

Di siini nampak jelas sekali penguasaan sang penyair dalam memainkan makna pada pertautan kalimat atas bawah, dan dengan cerdik untuk memberikan ruang imagi plus pada audiens, dia tambahkan ".........." yang sekali lagi disini juga punya peran ganda, selain untuk meratakan kalimat bawah pada atasnya " tanah,emas", titik-titik disini juga bisa berarti ada kalimat pesan tak tertulis yang bisa dijadikan bayang kalimat yang tertulis.

Bahkan dengan kepiawian sang penyair yang kelihatannya cukup menguasai seni puisi kontemporer ( baik dalam pengertian struktural bentuk, maupun pemaknaan isi! ), disini sang penyair tidak hanya bermain dengan bunyi saja, namun lebih dari pada itu, kekentalan pesan dan sindiran moralnya cukup kuat di sini, seperti halnya pada baris selanjutnya yang mengangkat isu "Global Warning" yang terjadi dari ketidak mampuan atmosfir ( penipisan atmosfir >> naturoksidogensasi
apiapiapiapiapiapia
oxoxoxoxoxoxoxoxo
) yang ditimbulkan akibat ulah manusia yang mencenderai alam hanya untuk memenuhi nafsu materiilnya ( disimbolikkan dengan > subur dalam dubur )
naturoksidogensasi
apiapiapiapiapiapia
oxoxoxoxoxoxoxoxo
= tidak hujan sayang
= bur
= bur
= bur
= bur
= bur
subur dalam dubur
HAH
solaring

260109

( = bur , sepertinya hanya menyisakan bur yang tidak subur karena hanya bur!, dan HAH solaring >>> di sini dengan " HAH " kapital dan "solaring" dengan penulisan wajar, seakan menyentil kita, betapa kita memandang sepele (atau bahasa jawanya; anget-anget tahi ayam!) masalah pemanasan global! )

Salut Iruw, karya yang bagus !

Salam lifespirit!
4 Maret 2009 19:42

Iruw Harden Answer : WOW! diriku tak menyangka jika pemaknaannya akan seperti yang dirimu paparkan; padahal waktu membuatnya, hal itu(pemaknaan) samasekali tidak terlintas di benak diriku..

inspirasi awal pembuatan tulisan diriku di atas adalah untuk "merekam" dua peristiwa luarbiasa yang terjadi bersamaan; Tahun baru Imlek&gerhana matahari cincin..
di dalam tulisan tersebut, terdapat banyak unsur kebudayaan Tionghoa yang diriku "fusi-kan" maknanya dengan isu2dunia yang ada (kupasan kawan Lifespirit sudah berhasil menangkap lumayan banyak)..
seharusnya, diriku TIDAK BOLEH mengungkapkan kalimat2ini..namun hal itu diriku lakukan sebagai bentuk tanggungjawab moral sebagai penulis..

Namun, begitu karya ini di posting ke publik, maka audiens dan atau penikmat baca mempunyai hak milik pada makna yang ada pada karya bersangkutan. Mengacu pada hal ini, maka ijinkan saya selaku penikmat baca untuk mengambil hak makna saya pada karya brelian Iruw Harden "UNSUR(E)", dengan
interprestasi makna dari sudut pandang saya selaku penikmat! ( tentunya interprestasi saya ini, antara subyektif dan obyektif sangat sulit untuk dipisahkan! ).
v
hak dirimu itu telah digunakan secara elegan..sungguh sejatinya, ragam interpretasi dari sebuah karya seni 'kan menjadikan karya tersebut kaya (multitafsir), serta eksotis..terimakasih tulus atas komen yang membangun ini..
iruw harden
539
5 Maret 2009 06:03

Dari uraian interprestasi saya pada karya UNSUR(E) ini, apakah penyair dikatakan gagal dalam menyampaikan pesan pada penikmat baca?

Jawabnya bisa YA dan bisa juga TIDAK. Dalam pengertian, penyair dalam hal ini telah gagal merepresentasikan diri dalam puisinya UNSUR(E) bilamana penyair berharap penikmat baca mempunayi pemaknaan yang sama seperti apa yang penyair pikerkan. Tapi, dari satu sisi penyair tidak bisa dikatakan gagal, karena dalam ketidaksamaan pemaknaan akan teks puisi UNSUR(E), justru pada karya ini saya selaku penghayat mendapatkan kebaharuan piker akan makna yang berhasil saya kumpulkan dari sinyal-sinyal simbolik poetika. Dalam pengertian, penerjemahan makna yang salah dan yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi pemikiran penyair, saya justru mendapat pemaknaan lain yang bisa memenuhi kebutuhan imaji rasa saya selaku penghayat. Bukankah puisi yang baik itu, puisi yang pada akhirnya bisa memberikan suatu kebaruan piker positip pada setiap pembacanya dalam menghadapi segala hal permasalahan kedepannya?

A Teuw, seorang kritikus sastra Indonesia berkebangsaan Belanda dalam kata pengantarnya pada antologi ”Asmaradana” karya Gunawan Muhamad.

Puisi atau sajak : “Adalah bulan yang diusir kepelosok oleh penghuni apartemen tinggi yang siang malam disinari oleh neon-neon metropoital modern, namun harus diarak kembali oleh orang insomnia dan kaki lima. Hanya pembaca yang bersedia menjadi sesama gelandangan dapat mengenal, mengakui dan menyelamatkan bulan.”

Paparan Teew itulah, yang kemudian menjelaskan betapa sulitnya puisi diartikan dan dimaknai sebagai pengejawantahan hidup. Bahkan, Ia pun berani menegaskan “Tidak pernah ada makna yang final, pengetahuan yang definitif dalam puisi. Puisi tetap pasemon yang terus menerus memerlukan interprestasi, atau lebih tepat penghayatan dalam arti rangkap: pembaca tidak hanya memberi hayat pada sajak yang dihadapinya, dia juga menerima hayat daripadanya, dihidupi olehnya,”

Adanya paradigma gelap terangnya puisi, menimbulkan tanya baru di pikiran pencipta puisi juga penikmat baca : apa dan bagaimana mencipta puisi agar selain bisa memenuhi kebutuhan rasa imaji pencipta, juga bisa memenuhi kebutuhan imaji rasa penikmat baca?

Kalau saya pribadi yang dihadapkan pada tanya seperti itu, maka akan saya jawab : mengenal seluk meluk perangkat bahasa yang menjadi denyut puisi/sajak yang notabene mempunyai tekstur kepadatan susun kata/kalimat yang berbeda dengan bila kita menulis prosa, dan atau minimal pengkarya cipta tidak mengenyampingkan aspek-aspek pendekatan konotasi,denotasi, sintaksis dan gramatikal, serta minimal mengetahui sifat-sifat dari kata terpilih (diksi). Dan yang tidak kalah penting, dengan banyak membaca karya pesastra puisi lainnya sebagai bahan serap kearah penciptaan karya yang lebih bertenaga.

Tidak jauh beda dengan pencipta karya puisi, begitu halnya dengan penghayat, agar lebih bisa menikmati suatu karya dalam usahanya memaknai, juga bisa melakukan pendekatan-pendekatan yang saya paparkan di atas. Tapi kalau sekiranya merasa awam ( kurang akrab) dengan dunia puisi/sajak, pertama kali yang harus dilakukan penikmat baca adalah melepaskan diri dari bayang-bayang keinginan penyair akan pesan makna yang melekat pada batang tubuh puisi/sajak. Kasarnya, jangan paksa diri untuk berfikir dalam memaknai puisi harus sama persis seperti apa yang diinginkan penyair. Tapi biarkan sinyal-sinyal simbolik poetika menerjemahkan dirinya sendiri sesuai dengan daya kemampuan masingmasing penghayat menangkap sinyal tadi. Bilamana penghayat dan atau penikmat baca masih juga mengalami kesulitan untuk memungut makna, pembaca bisa memakai pendekatan parafrasa ( penguraian kembali suatu teks (karangan) dll bentuk (susunan kata-kata) yang lain, dengan maksud untuk dapat menjelaskan makna yang tersembunyi). Seperti yang saya lakukan saat saya berusaha memungut makna pada karya Agus Djiwo S yang bertajuk “GEMULAI PUPUS” :


Membasah raga kerontang rasa
Beriring rintih mengiris lara
Hitung berturut tersekat cakra
Hingga menuai pekat lingkar kini

Gaung puji berkawal dupa setanggi
Lolong nyalak membelah dipekat sunyi
Serupa perawan suci Dewidewi
Meliuk gemulai senada pupus dibelantara

Akankah sisa terlunasi kini,........

( Agus Djiwo S, 6 September 2010 )


Untuk menterjemahkan puisi atau sajak yang ketat/rapat dalam bermain symbol untuk menyampaikan pesannya pada pembaca, disinilah tekhnik parafase sangat-sangat dibutuhkan untuk mengungkap makna disebalik bahasa-bahasa symbol yang ada di batang tubuh puisi.

Dan ketatnya permainan symbol ini sangat terasa sekali pada sajak saudara agus “ gemulai pupus “. untuk memaknainya saya akan coba parafrasakan ( yang tanda kurung ) :

GEMULAI (yang tibatiba) PUPUS


Membasah raga (saat) kerontang rasa
(Walaupun) Beriring rintih (tapi berusaha ) mengiris lara
(Dalam) Hitung berturut (adakah) tersekat cakra
Hingga menuai pekat (sampai) lingkar kini

# dua baris pertama pada bait pertama penyair menyiratkan kesan dimana saat ketidak seimbangan jiwa, perlu adanya suatu keyakinan spiritual agar segal;a sesuatunya bisa kembali seperti yang diharapkan, walau tidak semudah berkata-kata, namun harus siap berpayah-payah kalau ingin segala sesuatunya menjadi baik “ (Walaupun) Beriring rintih (tapi berusaha ) mengiris lara” > dan ketidak mudahan perjuangan tersebut lebih dipertegas dengan dialog monolog pada baris 3,4 bait pertama dalam penmgertian, apakah usahanya selama ini dalam pematangan batinnya kurang iklas sehingga kumparan senergi negatif sangat sulit untuk ditiadakan hingga kini, dimana cakra seakan tersumbat dalam kebekuan putar : “ //(Dalam) Hitung berturut (adakah) tersekat cakra/ Hingga menuai pekat (sampai) lingkar kini//”)
# secara keseluruhan Bait dua justru saya rasakan sebagai alur balik/ alur mundur, dalam pengertian bait ini merupakan suatu kronologis dari suatu proses laku dan atau proses kejadian yang ada di bait pertama.

“Gaung puji berkawal (dengan ) dupa setanggi
(lalu tibatiba terdengar) Lolong nyalak membelah dipekat sunyi
Serupa (jeritan) perawan suci (atau) Dewidewi
(yang) Meliuk gemulai senada ( tibatiba ) pupus (begitu saja) di belantara”

# dimana baris 1,2 bait ke dua merupakan suatu ilustrasi moral : berpasrah diri tapi tidak sebenarbenarnnya yakin (baris 1bait 2), dan kebimbangan itu kian menenggelamkan kedalam sesah (baris 2 bait 2),
Serupa keinginan-keinginan yang ada pada doa-doa yang tiba-tiba hilang saat didapati apa yang dia harapkan dari doa tadi tidak sesuai dengan pengharapan bahagia di kenyataannya ( alias kian menyakitkan : baris 3,4 bait 2 ) > Yang akhirnya di tutup dengan satu baris sebagai alur maju di bait tiga : “Akankah sisa terlunasi kini,........ ( moral value ) “ atau kasarnya, kalau sudah begitu akantah tidak ketersiasiaan halnya?

Sebagai penutup esai “Detak Bahasa Di Antara Pencipta Dan Apresiator Puisi II ”, baik buruknya tumbuh kembang puisi juga tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya kritik. Walaupun tidak jarang kritikus/apresiator adakalanya memberikan penilaian secara subyektif dan ada juga yang unsubyektif/obyektif, namun justru di sinilah dinamika yang akan menjadi lokomotif pertumbuhan itu berawal.

Peran kritik dan atau apresiasi terhadap perkembangan suatu karya itu mutlak sangat penting, sebab kritik yang baik pada suatu karya puisi/sajak/sair merupakan bagian dari proses pematangan pengkarya cipta dalam menghasilkan sebuah karya dan atau maha karya selanjutnya.

Kritik,kupasan,masukan struktur pola tuang,editing kosa kata/kalimat, telisik isi dan atau lain hal yang berkaitan dengan karya sastra itu sendiri, bila diberikan oleh seorang kritisi/kritikus/apresiator seni yang dibekali dengan ilmu memadai, justru akan memberi energi luar biasa pada penciptaan karya-karya selanjutnya.

Bila dalam suatu bedah karya/sastra/puisi/sair yang disampaikan oleh pengeritik/pengapresiasi dan atau pemberi saran, dianggap tidak relevan dengan kaidah piker penyair/pujangga dalam menuangkan karyanya, disinilah hak bantah / penjelasan dari sang penyair/pujangga diperlukan sebagai bentuk pelurusan akan persepsi tuang segala hal terkait dengan hasil karyanya, bukan berarti berlindung pada
lisensia poetika yang menurut kamus serapan bahasa asing versi Yus Badudu ; kebebasan penyair dalam menyusun puisi terhadap penyimpangan bahasa demi kepentingan irama dan rima ( untuk pengertian lisensia poetika ini saya mempunyai pendapat lain yang sedikit berbeda dengan Yus Badudu. Menurut opini subyektif saya, lisensia poetika adalah penggabungan dua kata/kalimat yang sama fisik untuk mendapatkan sisipan kata baru/morse poetika yang dalam laju bahasanya memberi energi tambah pada pemaknaan kata dimaksud. Contoh : “malammalam” pada saja saya “Tentang Luka” ditulis tanpa simbolik tanda baca (-) dengan tujuan untuk menyisipkan kata baru “alam” dan “lamma” yang ada ditengah penggabungan kalimat tadi, dengan tujuan untuk memperkuat latar, yang larik lengkapnya berbunyi “Malammalam sering aku mengalun sunyi”. Opini tentang lisensia poetika ini didasari dari kata dasar “lisensi” yang berdasarkan KBBI berarti izin menggunakan oktroi pihak lain dalam hukum tentang milik industri, dapat diberikan oleh si pemegang oktroi atau berdasarkan ketetapan Dewan Oktroi; semacam pemakaian hak paten akan merek atau lebel sejenis, pada puisi saya memaknainya sebagai bentuk penulisan dan atau penggabungan dan atau perekatan kata yang sama secara fisik kata. Sedang Poetika; po•e•ti•ka /poétika/ n Ling penyelidikan mengenai puisi dari sudut linguistik/ilmu tentang bahasa dan atau telaah bahasa secara ilmiah. Jadi perekatan kata tersebut tetap harus memiliki dasar yang kuat untuk memberi nilai tambah akan pemaknaan sebuah puisi, bukan asal lekat saja ).

Jadi dengan adanya komunikasi dua arah yang baik antara kritikus dan pengkarya ( penyair ), akan didapatkan suatu titik emas dalam karya-karya berikutnya !. Dengan suatu asumsi : karya yang bagus dan berbobot, akan menelorkan wajah-wajah baru kritikus handal di hari-hari selanjutnya . Sebab Kritik dan Sastra, ibarat ayam dan telur.

( Imron Tohari _ lifespirit, 3 Oktober 2010 )

Mengeja Detik


Foto : Tedja "KEJORA" Alhabd


Mengeja Detik

malam gelap memintal bulan
tubuh-tubuh kecil tidur lelap
tapi mata tua melompat
menyeret air mata. di bilik
suara tokek

memanggil-manggil mengeja detik detak duka nestapa

sayup pada pucuk rindu
seorang tua mengutip kata yang tercecer dalam
penantian dua sahabat yang menjemput pada perjalanan panjang

di selasar yang ada di mataku, doa riuh bergemuruh
sejuta cerita sejuta luka
kurasakan dalam geletar jiwa

dalam hening, mata ku katup
o...bersama-Mu
inginku waktu berhenti jua

di sepertiga malam menyonsong subuh
deras air mata membasuh rasa

kabut dan embun rebah
di pucuk kuncup daun-daun hijau
gemuruh suara semakin mendesak menyesak dada

──doaku
di titian embun

___________________________________________________________
@ Sajak bersulang Tedja “Kejora” & Imron “lifespirit”, 1 oktober 2010


se·la·sar n 1 serambi atau beranda (ada yg tidak beratap); 2 bagian balai yg terendah tempat rakyat atau pegawai rendah menghadap

MEMETIK HIKMAH DARI PUISI-PUISI TRANSENDENTAL DARI KARYA, MOH. GUFRON CHALID



gambar diunduh http://localhistorycds.com/localhistorycds/images

MEMETIK HIKMAH DARI PUISI-PUISI TRANSENDENTAL DARI KARYA, MOH. GUFRON CHALID


“Sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” ( Teeuw ).

Seperti yang dikatakan Teeuw di atas, seperti itulah yang saya temukan pada sajak-sajak Moh. Gufron Chalid yang terkumpul pada 17 sajak pilihan, yang di inbokkan ke saya untuk saya pelajari.

Setelah menelusuri setiap detak nafas sajak-sajak tadi, di sana saya dapat merasakan bagaimana penyair dalam menjalani proses pencarian jalan kebenaran melalui medium sastera.

Sebagai salah satu alat atau media untuk meletupkan rasa dan pemikiran-pemikiran yang diharapkan dapat mempengaruhi pola piker dan atau pola piker baru yang berdampak positip pada pribadi penyair serta penghayat selanjutnya, puisi,sajak, merupakan perwujudan yang tepat dari sekumpulan kata atau kalimat yang merupakan bagian dari yang namanya bahasa (baca: bahasa hati,bahasa piker,bahasa rasa, dll).

Bahwa Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkarya ciptanya. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Bahkan Jhon F Kennedy mantan presiden Amerika yang fonumenal mengkaitkan puisi dengan kehidupan bernegara: “ bila politik bengkok, maka Puisi yang akan meluruskannya”. Dari statemen tersebut, betapa penting dan berpengaruhnya puisi yang baik, tidak hanya dikaitkan dari sudut agama atau keyakinan saja, tapi juga terkait kuat (bila mau menyelaminya) bagi tatanan Bangsa,Negara, dan perbaikan pola piker positip bagi masyarakat dan atau indifidu penghayat.

Latar belakang budaya, pendidikan, pola hidup, kejiwaan, keyakinan, dll, sangat berpengaruh sekali akan hasil perwujudan puisi, baik dalam kapasitas tekstual puisi maupun muatan makna yang tersurat dan atau tersirat pada karya sastra puisi,sajak bersangkutan.

Dan factor-faktor seperti itu juga yang mempengaruhi karya-karya Moh. Ghufron Cholid yang terkumpul pada 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN.” Dimana nuansa transendental (kemenonjolan hal-hal yang bersifat spiritual/kerohanian) sangat menonjol pada setiap karyanya. Tidak perlu heran, karena lingkungan agamis yang kuat dari keluarganya serta atmosfir kehidupan pesantren, secara tidak langsung telah membentuk pola pikernya dalam berkarya cipta.

Seperti yang tertuang pada enam buah puisi Moh.Ghufron Cholid “ Menuju Pelabuhan, Sholat, Pertemuan, Selepas Subuh, Perempuan malam,dan Pengakuan “ yang saya anggap paling kuat dari segi alur, bunyi, pemaknaan, sehingga sangat-sangat menyita perhatian saya selaku penghayat, bila dibandingkan dengan puisi lainnya yang tergabung dalam 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN”, yang menurut saya terkesan hanya mengalir biasa saja.

Tajuk puisi ““Menuju Pelabuhan” yang sekaligus dijadikan sebagai puisi pembuka pada 17 kumpulan puisi pilihan Moh.Ghufron Cholid, begitu kental dengan nuansa transendental, betapa aku lirik beserta segala ketidak berdayaannya dalam menghadapi tipu daya pesona dunia nan fana, dengan tiga hal sifat yang senantiasa melekat pada insan Tuhan ( suka berkeluh kesah, tak pernah merasa puas, dan penyakit iri ), di sini aku lirik berusaha melawannya dengan cara mendekatkan diri pada sang pencipta, serta menyadari dengan sepenuh rendah hati, betapa tiada yang patut dia sombongkan di hadapan Illaihi Rabbi, serta berharap mendapat Ijabah dengan cara sujud yang sebenar-benar sujud atas segala kebesaran-Nya.

Dan nuansa seperti itu akan pembaca dapatkan pada Sajak “Menuju Pelabuhan” yang menjadi tajuk dan pembuka pada 17 kumpulan sajak terpilih Moh. Ghufron Cholid, saya petikan bait awal sajak tersebut, di bawah ini :

“Menuju pelabuhan kasihMu
Aku terkepung
Antara riak rindu dan ombak nafsu
Terkadang badai dan topan menerjangku
Aku serupa kapas
Berdansa di samudera lepas
Hilang arah tanpa batas”

Begitu kuatnya unsur transendental yang tersirat pada bait awal sajak tersebut. Dan saya yakin ini semua juga tidak terlepas dari pengaruh budaya hidup Moh.Ghufron Cholid yang sedikit tidak banyak dipengaruhi oleh atmosfir pesantren.

Puisi “Menuju Pelabuhan” ini, langsung mengingatkan saya dari sisi kekerabatan makna pada karya “CERITA BUAT IMANA TAHIRA” buah tangan penyair surealis spiritual Acep Zamzam Noor, yang sajak-sajak liris spiritualnya kebanyakan sering mengajak alam bawah sadar pemghayat untuk masuk ke dunia sufistik dalam mengungkap makna-makna yang bersifat transendental, melalui symbol-symbol alam, benda, cuaca, dll sebagai wujud pencitraan.

Seperti halnya “Menuju Pelabuhan”, Penyair Sepiritual Acep Zamzam Noor yang merupakan asset khasanah sastera tanah air ini, dalam “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, tersirat adanya suatu kekerabatan makna, yakni sama-sama tunduk dan tawaduk atas kebesaran Illaihi, betapa kita insan hanya serupa debu dihadapan Tuhan. Kurang lebih itu inti makna yang sama-sama ingin disampaikan. Mari kita baca dua bait yang saya kutip dari sajak Acep Zamzam Noor “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, di bawah ini :

“Memandang langit
Aku ingat wajah kekuasaan
Merah padam
Sedang menginjak bumi
Seperti kudengar suaraku yang sunyi

Di jalan setapak
Yang disediakan bumi tulus ini
Kata-kataku tumbuh dari udara
Kata-kataku membangun menara tinggi
Namun akhirnya runtuh juga” ( di petik dari sajak Acep Zamzam Noor )


Kekerabatan makna “Menuju Pelabuhan” ini juga bisa kita jumpai pada sajak “Doa” buah karya dari penyair D. Zawawi Imron, di mana pada karya “Doa”, penyair melalui aku lirik, betapa takjub akan kebesaran dan kekuasan Tuhan, dan betapa insan setiap mengingat kebesaranNya, terlihat kerdil tiada daya dibandingkan dengan segala kebesaran-Nya.

“bila kau tampakkan secercah cahaya di senyap malam
rusuh dan gemuruh mengharu biru seluruh tubuh
membangkitkan gelombang lautan rindu
menggebu menyala
dan lagu-Mu yang gemuruh
menyangkarku dalam garden-Mu” ( Dipetik dari sajak “Doa” D. Zawawi Imron ).

Suasana transendental juga akan kita jumpai pada karya “SHALAT” yang ada pada 17 sajak pilihan Moh. Gufron Chalid. Sajak pendek yang hanya satu bait dan terpeta terdiri 3 baris, saya rasa cukup berhasil membawa penghayat untuk masuk ke dalam dunia renung akan pentingnya menjalankan syariat Tuhan dengan sebaik-baiknya iman.
Secara makna, sajak ini mengingatkan saya pada tembang “Tamba Ati” karya Sunan Bonang yang sering saya nyanyikan saat saya masih kecil dan mengaji di mushola di desa saya Malang.

Sekali lagi saya katakana, secara makna, sajak Sholat ini sangat dalam, hanya secara puitika bahasa, karya ini terasa mengalir begitu saja, dalam arti, cengkeraman kuat yang bisa menghisap imaji penghayat kurang terbentuk, hal ini bisa jadi di karenakan puitisasi bahasanya yang terkesan standart ( umum).

Saya tidak membandingkan karya “Sholat” dengan” Tamba Ati” karya Sunan Bonang, namun saya hanya ingin menggambarkan betapa dengan pilihan diksi yang kuat dan susunan yang tepat, walau pendek, tembang “Tamba Ati” tetap mengemakan bunyi yang begitu mengesankan.

Saya petikan sajak “ Shalat “ dan “ Tamba Ati “, yang secara kekerabatan inti makna tidak jauh berbeda; yakni mengajak insan untuk menjalankan Syariat Tuhan dengan setulus-tulusnya ikhlas.

“Tuhan
Kau dan aku
Tak ada tabir rahasia”


Betapa di sini penyair dalam sajak “Sholat” ingin menyampaikan, bilamana kita menjalankan segala perintah-Nya ( Shalat ), ibarat pengantin dan atau bila dalam suatu rumah tangga, suami istri, tiada lagi penyekat untuk senantiasa berdekatan ( dalam koridor tanda kutip ). Sebuah pesan tersirat yang mengingatkan setiap insane ( penghayat ) untuk senantiasa tawaduk dan iklas dalam mendapatkan ijabah dari Tuhan, seperti yang ada pada larik lengkap tembang “ tamba Ati” karya Sunan Bonang dalam syiar islaminya.

“Tombo ati iku lima perkarane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah ngijabahi

Kurang lebih maknanya seperti ini :

Obat hati itu ada lima macamnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan mengamalkan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga menjalin silahturahmi dengan orang saleh ( berilmu ),
Keempat menjalankan ibadah berpuasa, agar bisa memetik hikmah dari penderitaan kaum miskin.
Kelima sering-sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan. “

Jadi secara implisit seperti itulah pesan yang terkandung pada puisi pendek yang hanya 3 baris di luar judul, mempunyai kandungan makna seperti pemaknaan yang ada pada tembang “tamba Ati”, khususnya dalam pencapaian tingkat ijabah Tuhan “Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan”.

Terlepas dari kurang kuatnya daya hisap imaji karya, sajak “Sholat” ini patut untuk dibaca sebagai bahan renung agar kita senantiasa ingat dan bisa lebih dekat dengan Tuhan. Amin.

Dan pembaca akan semakin diajak bertilawah hati dalam menangkap pesan-pesan transendental yang ada pada 17 sajak pilihan karya Moh.Ghufron Cholid, yang dengan bahasa lugas dan membumi. Walau dalam kesederhanaan puitisasi bahasa, dan minimnya penggunaan majas metaphora, tapi ketotalan penyair dalam menjiwai setiap gores baris sajaknya, menjadikan sajak-sajak tersebut serasa punya roh untuk bercerita, serta memudahkan setiap pembaca dalam menerjemahkan pesan tekstual sajak dengan mudah. Seperti pada sajak “ SELEPAS SUBUH” yang merupakan bentuk penghormatan dan kekaguman penyair pada gurunya yang telah berpulang ke Rahmattullah, saya kutip penuh , seperti di bawah ini:

SELEPAS SUBUH
Teruntuk guru tercinta Alm. KH. Moh. Tidjani Djauhari

Guru
Selepas subuh
Rumput-rumput bertahlilan
Beburung membaca yasin
Di sekitar nisanmu
Lalu
Kusaksikan pohon-pohon doa semakin lebat daunnya
Lantas
Meneduhi nisanmu
Kemudian
Aku mengerti
Suatu hari nanti
Wajahku berganti nisan
Namun
Aku belum tahu
Apakah nisanku akan seteduh nisanmu
Namun
Aku belum tahu
Jika wajahku telah berganti nisan
Apakah rumput-rumput akan bertahlilan
Dan beburung akan membaca yasin
Semisal yang kusaksikan selepas subuh ini (Al-Amien, 2009)

( andai saja mau sedikit menyentuh tipograpi puitikanya/pemetaan baitnya, saya yakin sajak ini akan kian bernas dan semakin enak dibaca)

Akhir kata, terlepas dari segala plus minus karya sajak ini,tidaklah berlebihan bila saya katakan 17 karya pilihan Moh.Gufron Cholid ini layak untuk dibaca, sebagai salah satu jalan mencari kebenaran melalui pemikiran-pemikirannya yang dia tuangkan dalam sajak bernuansa spiritual.

Memang pembaca tidak akan menemukan permainan-permainan symbol bahasa/majas sekuat dan sekental karya-karya Acep Zamzam Noor dan D. Zawawi Imron pada kumpulan sajak-sajak “ Menuju Pelabuhan “ ini, namun begitu, dalam kelugasan puitisasi bahasa sajaknya, pembaca akan diajak bertilawah pada keteduhan iman yang dalam.


Biodata Penyair :

Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 M dari pasangan KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh. Ia adalah salah seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), selain itu adalah seorang tenaga edukatif di MTs TMI Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465 dan ditengah kesibukannya menjadi ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Pondok Pesantren Al-Amien, ia menjadikan menulis puisi sebagai kegiatan yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang.

Karya-karyanya bisa dibaca di Antologi.Net, Puitika.Net, penulisindonesia.com, www.kopisastra.co.cc dan diberbagai situs online lainnya.

Mengasah Alief (2007),Antologi puisinya yang mendapat kata sambutan positip dari D. Zawawi Imron, KH. Moh. Idris Jauhari, dan Penyair Jerman. Selain itu Antologi Puisi Yaasin (2007), Antologi Puisi Toples (2009), merupakan karya-karyanya yang telah berhasil dia bukukan.

Salam lifespirit! 20 Maret 2010

Nyanyian Rindu Di Kota Sunyi


lukisan diunduh http://mywritingblogs.com/sastra/files/2008/09/lukisan-belenggu-cinta.jpg


Nyanyian Rindu Di Kota Sunyi

Malam kian teluk ombak debur yang keluk
di ceruk diri jiwaku telanjang── menekuk

Saat kuingat kekasih
ada ketinggian roh dalam sunyinya doa
di sana, dilekat jantung, duriduri tercerabut
menakar tetesan perih pada rentan retak perigi kejujuran

Pada ketelanjangan , jiwa siapakah itu yang berdiri di ujung simpul
melafalkan doa seperti mata pecinta menatap gugur kamboja
luruh dedaun memeluk tanah satu satu: O, cium mihrab-Ku
akan kau temu cahaya diantara dua alis yang bersujud
dengan beribu derit suara mengetuk-ngetuk pintu keabadian
──Aku di sana
di sepanjang jejak-jejak tertinggal
air mata yang saling bersitatap
mengeja baitbait

Mata Dalam Secangkir Kopi


lukisan diunduhhttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgd_9jNFfdbMWWFYzYEAmLcvP8A1C90XEbZbJk5TxrcOlCJcaS28Q_wPaEuu7qOmA8PcZi2-IkZ0ALG2slPiviR7Xw5WEXLe5EaVR5CGt8Ozkn-DBIz8p_wBuPEivSlUMQegCBQKj0hXMgh/s1600/secangkir-kopi.jpg

Mata Dalam Secangkir Kopi

dua biji mata dalam secangkir kopi. panas. mencari lupa
uap putih membumbung ke atas hilang jauh di alam raya
melewati jeram membawa deram akhirnya jatuh terlepas
di dasar lembah, o, banyak kepak burung patah berharap
takdir menciptakan awan perjumpaan. namun tanpa kawan
── mimpi berjalan sendiri

dua biji mata yang tertinggal dalam secangkir kopi. pecah
bagaimana bisa tanpa kepak membuat tak tercenung?
Lihat! bulu-bulu sayap yang rontok dicabuti waktu mengikuti air
mengapung arus angin semilir memandang awan siam beriring

ingat senja

______________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit 11 September 2010

Mengenal Luka Mengenal Kekasih



lukisan diunduh http://mafatihul.files.wordpress.com/2008/12/sujud.jpg?w=330&h=288

Mengenal Luka Mengenal Kekasih

Serumpun luka di kelopak rindu berlari menjeritjerit membelah angin menuruni gunung dan bebukit dikelilingi sungaisungai keinginan kekasih serta hanya berharap suka cita tanpa luka derita sedangkan luka derita itu jalan lurus di kelopak rindu bagi pecinta yang di matanya kelopak rindu itu aku yang tak pernah ingin menyerah mencari jalan terang keabadian hingga kekasih yang tiada lain dari ketinggian gunung dan bebukit keakuanku mengerti segala sesuatu terbatas dan batas itu hak misteri penciptaan.

( Imron Tohari _ lifespirit 4.9.2010)

Merenda Ikhlas



Foto diunduh http://2.bp.blogspot.com/

Merenda Ikhlas

Petani tersenyum, ianya menjemur padi
Di langit tanpa meminta balas, matahari bersinar sampai lalu
datang awan memekat dan hujan menderas.
O,cicit anak burung
Di rimbun daun tanpa kesah induknya menata sarang


Lihat! Di sebalik mega,
matahari tak jemu menunggu hujan. Menanti
bersiap menguntai bianglala

Rembang petang, krik krik krik…
suara jangkrik bersahut. Malam tiba

O, cahaya bulan jatuh di bawah tingkap
Hening yang sunyi
Pecah. Suara bayi


_____________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit 4 September 2010

TENTANG HAL YANG AKU PIKER



lukisan diunduh https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgka6zxtkZpVT44-75DgmAJYsDbV2qA6FhJHqeKQebqrvdwejIlSN8D05pZER2GGIFConoXmj4Kn62vYmjI8Uwp8xSQy1zeq2KGgF4cXgvqX5-u_M1MzjxgYSzCr_yPiEHOzhLs7sd3/s1600-h/20.jpg

TENTANG HAL YANG AKU PIKER

Saat kau bertanya apa yang aku piker kala aku jatuh cinta
: halnya engkau mengagumi bulu burung merak hingga melupa-
siang juga malam betapa tlah kau biarkan lembar waktu sendiri
meluruh satu satu meniadakan untuk berfikir tentang bulan senja

Hanya Indah. Dari jauh tiada keburukan tampak di tubuh gunung
beribu mekar bunga menjadikan kumbang kupu tiada lelah menari
Tapi satu kuminta dari langit. Bila kelak musim tibatiba kemarau
jangan biarkan diri tanpa setetes pun air meratapi tanah kerontang

____________________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit 3 September 2010