Cara Aku Memuisikanmu

Tlah bertahun kita rekat asmara
Dan kini, dengan segala penuh, dengan segala hati
Aku tuliskan dalam puisi cinta, yang nyala, untukmu
Seperti saat berdua kita susuri pematang sawah
Dan aku gandeng tanganmu agar tak jatuh
Sampai di sebuah gubug, yang ada di sana, di sawah itu
Memaknai burung berkericau diantara padi menguning

:”lihat burung pipit mematuki bulir padi,
dan padi merunduk begitu syahdu.” Katamu, bersandar di bahuku

:”Jika burung pipit itu engkau,
aku relakan dalam kehidupan, ini diri menjadi padi,
yang merunduk, dalam sunyi,
yang nyanyi”

Maka, jadilah puisi cinta
Engkau
_________________________________________________________
@ Imron Tohari – lifespirit 31 Agustus 2011

Hari Kemenangan

menujuMU
segala amarah sirna terbakar
segala cinta terbang beriring
aku;mereka seperti awal
berkhalwat kembali di rumah hati

menujuMu
cahaya perbedaan serupa anasir kerohanian
lentera yang menerangi sisi gelap
dimana aku;mereka
kembali mengikat hati
di tempat paling hakiki
di kalbu, di Engkau

menujuMU
segala sunyi, segala hening
aku;mereka serupa daun
jatuh ingin menjadi humus
di tanah. Engkau

___________________________________________
@ Imron Tohari – lifespirit 30 August 2011

anasir ; sesuatu (orang, paham, sifat, dsb) yang menjadi bagian dari atau termasuk dalam keseluruhan (suasana, perkumpulan, gerakan, dsb)

berkhalwat ; mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk bertafakur, beribadah, dsb

Tentang Sosok Ayah

pernah aku berfikir kenapa
di matanya matahari merurut peluh
juga asa yang berkhalwat
---di rahim ibu

lalu satu satu uban di rambutnya bercerita
tentang lelaki yang merelakan dirinya dijadikan kuda-kudaan
dan senyumnya itu tangan serupa midas
mengubah tangis dengan bersandar doa
bagi anaknya
---sepenuh mestika

________________________________________
@ Imron Tohari, lifespirit 18 Juni 2010

KETULUSAN

Saat kemarau
Maka, kuairi sawah
Jika hujan
Aku jelau hari dengan asmara

Oh, Tuhan
Di luas sawah, cuaca yang tak tentu
Biar tumbuh, biar isi
Tiada henti kupupuk dengan peluh doa
Kusiangi rumput-rumput liar

Dengan apa lagi mesti kulukis cinta
Anakku, asaku serunduk padi


________________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit 30 Agustus 2011, 24.18 WITA

jelau; tengok; menengok

Perahu Kertas

Perahu Kertas

Di lipatan kertas kerjaku,
banyak orang merayu
Aku melihat mereka berlomba,
memberiku gula-gula

Tapi, di sisi lain
Kulihat anakku,
bermain perahu kertas, warna-warni
Tapi, saat kuperhatikan wajah anakku,
ada retak di bulat matanya,
ada getir di ceria senyumnya,
Kulihat bibir ianya, anakku,
sebentar bergetar, sebentar berdoa

“Oh, Tuhan
Setiap kelahiran telah tertulis Rezki-Mu
Tapi kenapa Engkau merdekakan bulu lentik kekasih,
mengerling, menujah kalbu : mati ?” Bisik ianya

Bergetar, bergetar
Berdoa, berdoa
Hingga lalu
Menjadi aku

___________________________________
@Imron Tohari _ lifespirit 23 August 2011

KEKASIH

KEKASIH

beberapa kali ombak menerpa bahtera
jika sekali ini ianya, ombak itu, datang lagi
engkau mesti tetap tabah,o, kekasih

di samudra kehidupan
agar menemu simpul-simpul takdir
biar ini diri menyelam di kedalamannya
walau aku ditelan ombak;tenggelam, ikhlaskan
karena untuk itulah aku menjadi imammu
berharap tak lagi kulihat retak
bola matamu,o,kekasih


( “Kekasih” by Imron Tohari – lifespirit 27 August 2011, 22.11 WITA )

Jiwa yang Pencar

o, kekasih
di pinggir pantai
kulihat sebongkah karang sepi sendiri
ombak menghantam. buih-buih
pencar, menyerpih
terbang bersama angin
bertanyatanya cinta
aku serupa menakar rasa
kebencian dan kerinduan
ketulusan juga kemunafikan

pada jiwa yang sunyi,o,kekasih
sebongkah karang itu
tadinya tegar
kini tenggelam tak berdaya

o,kekasih
ketakutan menyadarkan jiwa
jika malam adalah malam penuh misteri
adakah bedanya ada dan tiada debur ombak
saat aku bakar nafas agar merambat ke langit
tapi angin meniupnya
---pencar !

________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit 10 Juli 2010

RINDU

Mesti bagaimana kupuisikan rindu,o,cintaku?
Di rembang petang suara jangkrik bersahutan
Kemerisik daun bambu bergesek
Tanpamu,hati resah, pikiran mengawang
Membawa namamu ke peraduan mimpi

Mesti bagaimana lagi kupuisikan rindu ini,o,cintaku?
Dengan puisi cintakah yang baitnya bercerita tentang
Dedaunan di pagi hari berselimut embun
Ataukah puisi doa yang gemanya tinggi menjulang
Menerobos malam,mengetuk-ngetuk pintu langit
Berharap berkah ruh suci, di larik namamu

Duhai wahai kekasihku,o,cintaku
Di kalbu, engkau cahya
Bisik katamu, nyala yang api

____________________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit 21 August 2011

Dalam Doa

lukisan by google



Dalam Doa

Ramadhan
Ini waktu menginjak hari ke 21
Biji-biji tasbih ranum embun ma’rifat
Alam kian menyemesta

O, Tuhanku
Cahaya maha Cahaya

Degup jantung ini demikian kencang
Airmata leleh
Dalam ketidak mahaberdayaan
Jiwa yang pencar
Tersungkur

O, Tuhanku
Cahaya maha Cahaya

Biar terbata membaca kitabMu
Hati cintaku kian menggebu
Menyebut asmaMU

_________________________________________
@Imron Tohari – lifespirit 20 August 2011

Jalan Hakikat

lukisan diunduh dari literature.wordpress.com




Jalan Hakikat

Ku-titipkan
kepedihan
kesukaan
pada awal
pada akhir

Di sana …
aku dan kekasih tiada
menyatu
pada keadaan
membebaskan roh jiwa melangkah
dalam lorong-lorong kematian

Di ladang Kekasih
o,ketakutan itu serupa biji palawija
berebut tumbuh
dengan hasrat yang api
menjadikan airmata langit mengalir
mengkristal
menjadi segumpal hati

dan ianya, airmata langit itu
kekasih
aku

_________________________________________
@ lifespirit 19 January 2009/rev 17 Agustus 2011

Rindu yang Entah

lukisan diunduh dari riaa multiply.com

Rindu yang Entah


Di hampar pasir
Duduk sendiri
Menatap ombak menari-nari
Surya memancar terangi pesisir

Ohai, indahnya alam tiada terkata
Layuk nyiur dibuai bayu
Hantarkan rasa ke relung syahdu
Guratkan bayang beribu pesona

Duhai Khalik pencipta sempurna
Pikiran Hamba terbingkai asmara
Gerangan apa segala terasa
Jejak kaki pun mencipta kenangan

Hanyut rindu entah kemana
_______________________________________________________
@ lifespirit, 2 Juni ‘09,/kenangan/ rev 17 Agustus 2011

Puisi Paling Manis

lukisan by google



Di alam imajiner
aku kumpulkan 66 penyair terbaik
untuk menulis satu puisi kemerdekaan paling manis

Serempak mereka berkata
: tak akan pernah tercipta puisi kemerdekaan paling manis
jika negeri ini
di kedai-kedai hati penguasa
cawan-cawan cinta retak
berserak
tanpa bening airmata
o, Kekasih.

( "Puisi Paling Manis" by lifespirit 17 Agustus 2011 )

Epilog "KATARSIS" Karya Hadi Napster



Membaca “KATARSIS” by lifespirit


Ketidaksempurnaan dan kerusakan, yang terlihat di mana pun,
semuanya adalah cerminan keindahan.
Pengatur tulang, di manakah dia dapat mencoba ketrampilannya
kalau bukan pada persendian yang patah? Penjahit di mana?
Tentunya bukan pada busana siap yang indah potongannya.
Bila tiada tembaga kasar ditempat peleburan,
bagaimana ahli kimia dapat mempertunjukan keahliannya? (Jalaluddin Rumi)


Penciptaan karya sastra puisi,sajak,syair, merupakan hasil dari suatu proses pengamatan dan atau bahkan pengalaman pribadi penulisnya yang selanjutnya memantik simpul-simpul kejiwaan/pyscologis dan atau menyentuh sisi kerohanian pengkarya cipta (Baca:Penyair) yang disampaikan dalam bentuk lisan dan atau tulis, dengan suatu tujuan memberi kebaharuan piker pada dirinya pribadi selaku pemilik fisik karya, serta pada penghayat/penikmat baca selaku pemilik hak atas makna yang ditangkap dari symbol-symbol bahasa yang tersirat pun tersurat pada tubuh karya secara utuh dalam menyikapi serta memandang hakikat kehidupan di masa depan.

Penulis puisi/sajak ( untuk selanjutnya akan saya sebut penyair ), ketika menulis sebuah karya atas dasar pengalaman pribadi dan atau pengamatan terhadap kondisi sekelilingnya yang didasari dengan penghayatan yang benar-benar keluar dari bilik hati terdalam, akan melahirkan suatu karya puisi yang bernas (baca: berjiwa) dan mampu menghisap pembaca atau penghayat untuk masuk kedalam ruh makna puisi yang dibacanya, yang selanjutnya akan menarik piker kekinian penghayat dalam memaknai hakikat kehidupan yang memancarkan sinergis positip.

Memang kita tidak pernah tahu apakah puisi yang diciptakan penulisnya hanya merupakan olahan imaji serta hanya berlandaskan teknik kemampuan menyusun bahasa indah sahaja, atau apakah puisi tersebut dicipta berdasarkan perpaduan imaji piker pencipta karya yang dilandasi juga nilai-nilai hirarki kejujuran rasa piker pun ketulusan hati dalam melahir karya tersebut. Tapi biasanya karya puisi yang hanya ditulis berdasarkan imaji dan mengandalkan teknik keindahan bahasa saja, akan kering makna. Dalam pengertian tidak akan meninggalkan kesan yang mendalam pada penikmat baca.

Dan membaca beberapa puisi Hadi Napster yang tergabung dalam kumpulan buku puisi bertajuk “KATARSIS”, saya selaku penghayat langsung dihadapkan pada dunia renung spiritual transcendental, baik secara horizontal ( manusia dengan manusia, manusia dengan alam berserta segala elemen penyertanya ), maupun secara vertical ( hubungan manusia dengan Tuhannya beserta segala misteri yang menyelingkupinya ). Bahkan pada beberapa puisinya, imaji rasa saya berseakan disedot pada suatu pusaran duka yang teramat sangat atas sesuatu hal ketidaksempurnaan kehidupan yang tengah dialaminya, namun pada kondisi tertentu, tiba-tiba imaji rasa saya berseakan ditarik keluar untuk selanjutnya diajak masuk kedalam dunia renung yang maha dalam akan hakikat kehidupan yang sebenarnya. Dan hal tersebut saya rasakan pada puisinya yang berjudul “Hikayat Malam”, “ Puja”, “Singgasana Remang”, dan “Katarsis”.

Saya tukilkan dua puisi termaksud yang saya katakan di atas :

di atas kertas buram
kucipta dosa menyairmu diam-diam
tiada sendiri pernah dambakan malam padam
selayun bulan bahkan masih cumbui berang dendam
ke mana hilangmu karam?

ah, teruk nian mata kan pejam
sebab pilunya serupa jeram
mengubur hamba ke genggam sekam

namun tetap jiwa semayam
padaNya jua segala paham

( Petikan bait 1,3,4 puisi “Hikayat Malam”)


Pagi masih buta
Sajakku telah bergelut dendang surga
Mencari mantra di antara sembab luka
Tak ada !

Lalu beringsut ke candu zina
Ratapi dusta dan nikmat dunia
Oh, betapa teruk dahaga

Pagi masih buta
Kekasihku mengirim sepatah kata
Rindu membuncah dara
Cinta nyala !

( Puisi lengkap “P U J A” )


Bukan itu saja, bahkan pada beberapa puisinya yang bertemakan tanah air, saya merasakan detak duka (baca:keprihatinan) Hadi Napster pada kondisi kekinian negeri tercinta di mana dia berpijak, dan agar olah rasa pikernya bisa diserap penikmat baca dengan mudah, Hadi Napster menuangkannya dengan bahasa lugas nan membumi namun tetap menjaga estetika bahasa, seperti pada puisinya yang berjudu BALADA WNI, IKHTISAR SUJUD HAMBA, KASIDAH POJOK NURANI.

Dalam meneriakkan kegalauan rasa akan kondisi Negeri tercinta ini, Hadi Napster tidak lantas mengumbar emosi yang meledak-ledak dalam penyampaian kata, seperti yang sering kita temui pada karya-karya puisi dengan tema sejenis yang dituang semodel puisi pamphlet, Namun justru Hadi Napster di sini seakan ingin menunjukan kalau model tuang puisi pamphlet dengan tema tanah air bisa juga disampaikan dengan lembut dan indah dalam balutan rima, yang justru daya hisapan imaji rasa ke penghayat kian bunyi.

BALADA WNI

koarku dari kampung
seantero negeri kian linglung
tabur harap, hampar doa, kepada mendung
gaung proklamasi ranggas diterpa magrur beliung

janin-janin mati bingung !
sebab ibu mulai bosan mengandung


apa kabar, Pancasila?
katanya kau tak sedang baik-baik saja
terpingit tirau reot jambar bangsaku nan kaya
tangis pecah buncah, rakyat gelisah orion entah ke mana

jawab tuan ; besok saja !
malam ini jadwal nonton chaiyya-chaiyya


para suami lesu murung
mengeja kasih Tuhan yang agung
sang istri pasrah membuang diri ke semenanjung
di pengap panti asuhan, anaknya asyik belajar berhitung

sampan karam, patah pula dayung
padahal kami warga tanah pertiwi adiluhung


maladaptasi racuni nusantara
lelah mahasiswa teriak membabi buta
guru-guru honor tercekam wabah insomnia
pupus keadilan terlindas titah parlemen sarat amnesia

jutaan luka duka, tetap satu cinta
benyanyi kita bersama : “hiduplah Indonesia raya...”

Bandung, 14 Mei 2011


IKHTISAR SUJUD HAMBA

Perseteruan pagi
Mimpi-mimpi ambruk menyerta gravitasi
Kian senjang jejal doa dan wangi bangkai
Lantas aleksia rasuki otak-otak eselon negeri
Pertanda adiwangsa mati suri?
O, makhluk bumi
Maulaya, hamba, ahlulkubur, dengki!
Mengapa kalian tidur di ibtida darma duniawi?

Telah habis seloka pujangga
Afwah moyang terkapar ratapi gugurnya kembang akasia
Pancaroba menggila, jangkiti nadi mayapada
Remukkan setiap sembada
Menista akmalNya laksana aedes menguras darah manusia
Sementara roh semakin jauh dari nafas raga
Bergelantung di selayun ladang janji sarat dusta
Harapkan bangsa masih menyimpan sedikit skenario melodrama

Puisi-puisi terlalap api
Sibuk berdiksi tentang cinta, pun ajnas merah birahi
Mujtamak diabai, ikram ahadiatNya terludahi
Sebab kebanyakan akademisi asyik bermain filosofi
Lalu bagaimana akhwan kami?
Adakah mereka sadar pada ketamakan yang terjejali?
Atau kelak tercipta lagi dagelan baru di sini?
Ah, andaikata taibah ahsan sedikit saja menghampiri
Tentulah nurani tak akan terkubur oleh ambisi

Pertikaian senja
Malam-malam lupa rahim ibu seketika
Nisan ayah melarung duka saksikan tawa warnai zina
Pun bilamana jiwa ronta, apalah daya?
Zakiah surga tinggal cerita
Seminau kitab terpanggang bara di alam baka
Sakral apa masih pantas dipuja?


Yogyakarta, 26 Maret 2011


KASIDAH POJOK NURANI

pergilah kepada bara
taburkan abu nyanyi sunyi
bila mendung rintih kekasih
sedikit rindu barangkali

datanglah kepada malam
jadikan gelap rindang terang
jika mimpi pecah pepatah
tangisan negeri bisa jadi

pergilah kepada luka
jadikan darah rampai rangkai
ketika adil berpihak letak
kenanglah ibu sesekali

datanglah kepada nisan
lantunkan doa degup letup
kala cinta mewujud sujud
di hatiNya kita sembunyi


Jakarta, 21 Februari 2011


Mencermati isi dan judul buku “Katarsis”, yang berdasarkan KBBI bermakna setara dengan penyucian diri yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan dari ketegangan; cara pengobatan orang yang berpenyakit saraf dengan membiarkannya menuangkan segala isi hatinya dengan bebas; kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan atau pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis, tampak sekali pada karya-karyanya yang terangkum pada buku kumpulan puisi bertajuk “KATARSIS”, Hadi Napster melalui bahasa-bahasa kias ingin menyampaikan pada penikmat baca bahwasannya dalam setiap kehidupan, baik itu kehidupan yang berkaitan dengan hubungan antar kekasih, kehidupan bernegara, dan atau bahkan kehidupan pribadi individu yang tentunya tidak luput dari segala coba duka nestapa, namun tidaklah patut untuk kita terus meratapi ketidak sempurnaan kehidupan ini, karena justru dari adanya ketidak sempurnaan itu banyak hal yang bisa kita perbuat menjadi baik bagi diri secara pribadi maupun bagi sesama secara keseluruhan dari hakikat hidup yang sebenar-benarnya, seperti yang dia tulis pada bait awal puisinya yang judulnya sekaligus dijadikan tajuk kumpulan antologi puisi tunggalnya ini, seperti yang saya petikkan di bawah ini :

ketika padaku fukara bertanya
di mana nila sejuk telaga?
lelehkan sejenak lara

( Bait pertama dari puisi berjudul “KATARSIS” )

Dan sontak bait pertama puisi ini mengingatkan saya pada makna yang terkandung dalam salah satu puisi penyair sufi Jalaluddin Rumi yang bertajuk “HIKMAH KETIDAKSEMPURNAAN ; Jalaluddin Rumi : Ajaran Dan Pengalaman Sufi, Reynold A. Nicholson, Penerbit Pustaka Firdaus,1993”

Ketidaksempurnaan dan kerusakan, yang terlihat di mana pun,
semuanya adalah cerminan keindahan.
Pengatur tulang, di manakah dia dapat mencoba ketrampilannya
kalau bukan pada persendian yang patah? Penjahit di mana?
Tentunya bukan pada busana siap yang indah potongannya.
Bila tiada tembaga kasar ditempat peleburan,
bagaimana ahli kimia dapat mempertunjukan keahliannya? (Jalaluddin Rumi)

Dan bukan tidak ada alasan bila saya sertakan diawal tulisan ini satu bait karya penyair sufi Jalaluddin Rumi, tersebab Semakin saya masuk ke dalam alam kontemplatif karya puisi Hadi Napster yang tergabung dalam “ Katarsis, saya selaku penikmat baca tanpa sadar dihisap dalam dunia renung yang begitu hening, dan dalam keheningan imaji rasa saya tersebut, saya berseakan bersentuhan dengan denyut kegelisahan penyair akan sesuatu hal yang dirasa menjadi beban berat untuk ianya (baca: aku lirik) dalam menangung ketidak sempurnaan yang ada pada diri aku lirik tersebut, dan tiba-tiba pada keadaan lain kesadaran aku lirik seakan membetot imaji rasa saya selaku penikmat baca masuk kedalam suatu pusaran yang begitu cepat dan membentuk suatu lorong yang kian mengerucut ke dalam dunia renung akan hakikat kebesaran Tuhan dan kita sebagai umatNya sudah semestinya tabah serta tawakal menjalani lelaku hidup seperti yang telah digariskan.

Dalam keadaan yang serba gelisah akan apa yang tengah dihadapinya sebagai cobaan Allah SWT, Hadi Napster yang tiga tahun lalu telah divonis dokter mengidap penyakit kangker otak (saya mewartakan penyakit yang diindap penulis ini bukan bermaksud untuk mengharubirukan keadaan yang bersangkutan, namun semata saya menuliskan hal tersebut di sini, dengan suatu harapan bisa dipetik nilai-nilai semangat penulis yang tidak menyerah oleh keadaan atas kesehatannya selama ini untuk berkarya cipta, sekaligus untuk pencarian jalan kebenaran menuju kedekatan cinta pada Allah SWT ).

Sebagaimana yang dikatakan oleh Teeuw : “Sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” , melalui gurat karyanya ini Hadi Napster ingin berbagi untuk jiwanya yang letih dan juga bagi pembaca yang mungkin menghadapi cobaan yang sama seperti halnya dirinya, agar tetap tabah serta tawakal, tetap yakin bahwa ketidak sempurnaan yang ada pada diri tidak menutup jalan menuju kebaikan bagi sesama dan juga kebaikan hakiki di jalan Tuhan.


Salam lifespirit!

Imron Tohari _ lifespirit, 17 Juni 2011

Mengenang Esais,Penyair, sekaligus Penggiat Sastra Cyber Loektamadji A Poerwaka (






Hakikat do yang do

do
doremifasolasido, tapi tak
doremifasolasi, tapi tak
doremifasola, tapi tak
doremifaso, tapi tak
doremifa, tapi tak
doremi, tapi tak
dore, tapi tak
do, tapi tak
do,
tidak tak remifasolasido

hanya do
tak tapi bunyi
do
padada nada

@ lifespirit , 27 Januari 2009, editing by DaveSky



Menikmati puisi Imron Tohari (IT) “ Hakikat do yang do”

Katakanlah “Hakikat do yang do” adalah “sesuatu”, lalu bagaimana sesuatu akan didiskripsi. Manusia tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat mendiskripsi sesuatu itu secara lengkap sehingga sesuatu itu hanya ada sebagai sesuatu itu sendiri, bukan lainnya. Engkau tentu akan bertanya mengapa? Selalu saja manusia berkaitan dengan yang ada bukan yang tidak ada. Katakanlah puisi IT ini, adakah ada dari yang tidak ada lalu menjadi ada atau dari yang ada menjadi ada. Saya berpendapat kalau puisi ini ada dari yang ada. Ada dapat menyangkal dengan membuat argumentasi “Tadinya kan tidak ada puisi seperti ini di dunia, kemudian IT menggubahnya menjadi ada, jadi puisi IT ini ada dari yang tidak ada”. Coba kita tanya lebih lanjut bukankah adanya puisi ini karena adanya IT, adanya IT karena ada air,ada tanah, ada api, ada kayu dan segala ada yang lainnya. Pada ujungnya, segala ada karena ada yang yang selalu ada, yaitu yang Maha Ada.

Kembali kepada pembicaraan. Manusia tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat mendeskripsikan sesuatu itu lengkap sehingga sesuatu itu hanya sebagai sesuatu itu sendiri, bukan lainnya. Katakanlah yang mudahnya adalah gula. Apa itu gula, dari segi bentuk kita dapat mengatakannya sebagai butir, tepung atau lainnya. Dari segi warna kita dapat mengatakannya sebagai putih, coklat, merah dan atau lainnya. Dari segi rasa kita dapat mengatakannya sebagai manis. Dari segi nama kita dapat mengatakannya sebagai gula pasir, gula merah, gula coklat, gula batu, gulai bit, sakarin, dan lainnya. Apakah kalau kita sudah mengetahui semua itu lalu kita dapat mengatakan dengan pasti bahwa sesuatu yang seperti itu adalah gula. Saya hanya mengatakan mungkin itu gula mungkin juga lainnya (bukan gula). Menurut saya apa yang kita bicarakan bukanlah “gula” tetapi “tentang gula”.

Lalu bagaimana kita dapat menyatakan sesuatu itu. Sesuatu tidak dapat dinyatakan karena hanya dapat didekati. Sesuatu itu hakikatnya transenden, melampaui semua kata kata atau diskripsi. Jalan termudah untuk menyatakan sesuatu itu apa, adalah dengan mempersepsi sesuatu itu melalui panca indra. Dengan cara seperti ini maka sesuatu akan menyatakan dirinya sendiri. Tentu cara ini akan merepotkan karena kalau kita ingin menjelaskan apa itu gajah maka harus ada gajahnya.

Cara lain menyatakan sesuatu adalah dengan menyatakan hal yang serupa misalnya merah adalah seperti warna apel, warna darah atau yang lainnya. Karena serupa tentu bukan yang sesungguhnya hanya mirip mirip saja. Cara lainnya lagi adalah dengan menyatakan bukannya. Seperti manusia adalah mahluk yang bukan hewan, bukan tumbuh tumbuhan, bukan benda mati dan bukan yang lainnya. Kalau bukannya dapat kita sebutkan semuanya maka diskripsi itu akan akurat karena sesuatu itu manjadi hanya sesuatu itu sendiri bukan lainnya.
Sekarang dengan pemikiran sebagaimana dipaparkan kita baca puisi IT yang saya kutip :

Hakikat do yang do

do
doremifasolasido, tapi tak
doremifasolasi, tapi tak
doremifasola, tapi tak
doremifaso, tapi tak
doremifa, tapi tak
doremi, tapi tak
dore, tapi tak
do, tapi tak
do,
tidak tak remifasolasido

hanya do
tak tapi bunyi
do
padada nada


Imron Tohari menjudulkan puisinya sebagai “Hakikat do yang do”. Apakah “hakikat do yang do”, dijelaskan oleh IT bahwa hakikat do yang do adalah do, doremifasolasido. Do supaya dapat dikatakan ada maka harus dinyatakan melalui padangan dunia atau “world view” tentang do yaitu doremifasolsido. Doremifasolasido adalah dunia tempat tentang konsep do mengada. Tetapi Doremifasolasido tidak pernah mengetahui apa do itu. Hanya do pernah bersabda “jangan serupakan aku dengan apapun, atau engkau akan kumasukkan ke dunia siksa”. Sebagian doremifasolasido mematuhi dengan meyakini bahwa do adalah bukan bagian bagian dari doremifasolasido, bukan doremifasola, doremifaso dan seterusnya. Ditegaskan lebih lanjut bahwa do adalah do yang tak berbunyi do karena bunyi do adalah bagian dari doremifasolasido, do hanya penanda nada, atau kata.

Do adalah sesuatu yang tidak dapat dikatakan dan diserupakan do adalah do yang wolrd view tak pernah bisa mendiskripsikan. Do adalah pengada yang selalu ada yaitu yang Maha Ada atau Tuhan.

Selamat menikmati, dan saya harus mengucapkan terima kasih kepada mas Imron atas pembangkitan kepenasaranku.

Salam
Loektamadji
(17 Februari 2011)


Mengenang Penyair dan Esais rendah hati Bpk. Loektamadji Arief Poerwaka yang meninggal Awal Agustus 2011.

salam lifespirit!